Oleh:
Rendra Fahrurrozie
BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Di dalam Al Qur’an, orang beriman kepada Allah SWT yang
disertai memiliki ilmu, Allah SWT akan tinggikan derajadnya dihadapan
sesamanya, maupun Allah SWT. Sebagaimana firmanNya.يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ
يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ١١“Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujaadilah
: 11).
Dalam menuntut ilmu tersebut, terdapat unsur/komponen
yang penting, diantaranya adalah Pendidik dan Peserta Didik. Sebab tiu, perlu
kita meninjau mengenai Pendidik dan Peserta Didik ini dari berbagai sudut
pandang. Akan tetapi apabila kita tinjau dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 1, dapat kita jumpai pengertian dari Pendidikan.
Bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar Peserta Didik secara aktif mengembangkan
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhalk mulia, serta keterampilanyang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[1]
Maka, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan dapat berlangsung jika memenuhi unsur-unsur yang ada di dalamnya, salah satunya Pendidik dan Peserta Didik. Kedua hal tersebut sangatlah penting dan menjadi komponen dalam Pendidikan. Akan tetapi jika kita lihat dari sudut pandang Islam, maka akan kita menemukan perspektif Pendidikan Islam. Baik itu mengenai pengertiannya, karakternya dan hak dan kewajiban dari Pendidik dan Peserta Didik ini. Inilah yang kita bahas dalam makalah sederhana ini.
Maka, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan dapat berlangsung jika memenuhi unsur-unsur yang ada di dalamnya, salah satunya Pendidik dan Peserta Didik. Kedua hal tersebut sangatlah penting dan menjadi komponen dalam Pendidikan. Akan tetapi jika kita lihat dari sudut pandang Islam, maka akan kita menemukan perspektif Pendidikan Islam. Baik itu mengenai pengertiannya, karakternya dan hak dan kewajiban dari Pendidik dan Peserta Didik ini. Inilah yang kita bahas dalam makalah sederhana ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDIDIK
1. Pengertian Pendidik dalam Perfektif Pendidikan Islam
Pendidik atau guru adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas dalam pengertian yang terbatas. Dalam arti luas adalah seorang yang mempunyai tugas tanggung jawab untuk mendidik Peserta Didik dalam mengembangkan kepribadiannya, baik berlangsung disekolah maupun di luar sekolah. Menurut UU SPN 1989, guru termasuk tenaga kependidikan khususnya tenaga Pendidik yang bertugas membimbing, mengajar dan melatih Peserta Didik.[2]
Secara etimologi dalam konteks Pendidikan Islam, Pendidik disebut dengan ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid dan mudarris. Kelima kata itu, mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna.[3]
a. Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasi kerja, serta sikap continuous improvement (berkelanjutan).
b. Mu’alim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).
c. Murabbi adalah orang yang
mendidik dan menyiapkan Peserta Didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur
dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat, dan alam sekitarnya.
d. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anautan, teladan, dan konsultan bagi Peserta Didik.
e. Mudarris adalah orang yang mampu menyiapkan Peserta Didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradapan yang berkualitas di masa depan.
Dalam terminologi Pendidikan modern, para Pendidik disebut orang yang memberikan pelajaran kepada anak didik dengan memegang satu disiplin ilmu di sekolah.[4]
Secara umum Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, Pendidik dalam perspektif Pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan Peserta Didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi Peserta Didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.[5]
Secara terminologi para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang Pendidik.[6]
a. Zakiah Daradjat, berpendapat bahwa Pendidik adalah individu yang akan
memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku Peserta Didik.
b. Marimba, beliau mengartikan sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai Pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang Pendidikan Peserta Didik.
c. Ahmad Tasir, mengatakan bahwa Pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan Peserta Didik.
Islam mengajarkan bahwa Pendidik pertama dan yang utama paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani Peserta Didik adalah kedua orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya, agar mereka terhindar dari adzab yang pedih.[7] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
1. Pengertian Pendidik dalam Perfektif Pendidikan Islam
Pendidik atau guru adalah sebagai satu sosok individu yang berada di depan kelas dalam pengertian yang terbatas. Dalam arti luas adalah seorang yang mempunyai tugas tanggung jawab untuk mendidik Peserta Didik dalam mengembangkan kepribadiannya, baik berlangsung disekolah maupun di luar sekolah. Menurut UU SPN 1989, guru termasuk tenaga kependidikan khususnya tenaga Pendidik yang bertugas membimbing, mengajar dan melatih Peserta Didik.[2]
Secara etimologi dalam konteks Pendidikan Islam, Pendidik disebut dengan ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid dan mudarris. Kelima kata itu, mempunyai makna yang berbeda sesuai dengan konteks kalimat, walaupun dalam situasi tertentu mempunyai kesamaan makna.[3]
a. Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasi kerja, serta sikap continuous improvement (berkelanjutan).
b. Mu’alim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoretis praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amaliah).
d. Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anautan, teladan, dan konsultan bagi Peserta Didik.
e. Mudarris adalah orang yang mampu menyiapkan Peserta Didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradapan yang berkualitas di masa depan.
Dalam terminologi Pendidikan modern, para Pendidik disebut orang yang memberikan pelajaran kepada anak didik dengan memegang satu disiplin ilmu di sekolah.[4]
Secara umum Pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, Pendidik dalam perspektif Pendidikan Islam adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan Peserta Didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi Peserta Didik, baik potensi afektif, kognitif, maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.[5]
Secara terminologi para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang Pendidik.[6]
b. Marimba, beliau mengartikan sebagai orang yang memikul pertanggungjawaban sebagai Pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab tentang Pendidikan Peserta Didik.
c. Ahmad Tasir, mengatakan bahwa Pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan Peserta Didik.
Islam mengajarkan bahwa Pendidik pertama dan yang utama paling bertanggung jawab terhadap perkembangan jasmani dan rohani Peserta Didik adalah kedua orang tua. Islam memerintahkan kedua orang tua untuk mendidik diri dan keluarganya, terutama anak-anaknya, agar mereka terhindar dari adzab yang pedih.[7] Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ
وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ
مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
(Q.S At Tahrim: 6)
Sekarang timbul persoalan, disebabkan oleh berbagai macam jenis pekerjaan
yang dilakukan oleh orang tua Peserta Didik yang menyebabkan orang tua jarang
berada di rumah. Keadaan yang demikian dapat menjadi salah satu penyebab orang
tua tidak dapat melakukan tugasnya menjadi seorang Pendidik, maka dari itu
alangkah baiknya kalau kedua orang tua tidak sama-sama bekerja, mungkin hanya
suami yang kerja, istri hanya berada di rumah mengawasi dan mendidik anak.[8] Karena kedua orang tua harus mencari nafkah
untuk memenuhi seluruh kebutuhan, maka orang tua kemudian
menyerahkan anaknya kepada Pendidik di sekolah untuk didik.
Secara umum tugas Pendidik adalah mendidik.[9] Disamping itu Pendidik juga bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi Peserta Didikdapat teraktualisasi secara baik dan dinamis.[10]
Sebagai “warasat al-anbiya”, yang pada hakikatnya mengemban misi rahmatal li al-alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi.
Menurut ulama seperti Imam Ghazali, mengemukakan bahwa tugas Pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersikan, mensucikan, serta membawa hati manusia untuk taqarrub ila Allah. Para Pendidik hendaknya mengarahkan para Peserta Didik untuk mengenal Allah SWT lebih dekat lagi melalui seluruh ciptaanNya. Para Pendidik dituntut untuk dapat mensucikan jiwa Peserta Didiknya. Hanya melalui jiwa-jiwa yang suci manusia akan dapat dengan Khaliq-Nya. Berdasarkan konsep tersebut, An-Nahlawi menyimpulkan bahwa selain bertugas mengalihkan berbagai pengetahuan dan keterampilan kepada Peserta Didik, tugas utama yang harus dilakukan Pendidik adalah tadzkiyat an-nafs yaitu mengembangkan, membersikan, mengangkat jiwa Peserta Didik kepada Khaliq-Nya, menjauhkannya dari kejahatan dan menjaganya agar tetap kepada fitrah-Nya.[11]
Secara khusus Tugas Pendidik dalam Islam adalah :
a) Sebagai pengajar (intruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah progra itu dilaksanakan.
b) Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian Islam, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia.
c) Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.
3. Karakter Yang Harus Dimiliki Pendidik dalam Pendidikan Islam
Sifat-sifat (karakter) yang melekat pada seorang Pendidik, setidaknya ada enam (6) hal. Yaitu sebagai berikut.
a. Zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridhoan Allah semata.
b. Kebersihan Guru. Menjaga kebersihan diri, baik luar (fisik) maupun bathin (emosi dan pikiran).
c. Ikhlas dan jujur dalam pekerjaan.
d. Pemaaf.
e. Harus mengetahui tabi’at (karakter) Peserta Didik.
f. Harus menguasai mata pelajaran (Profesional).
4. Hak dan Kewajiban Pendidik dalam Pendidikan Islam
a) Hak Pendidik
b) Kewajiban Pendidik
1) Harus menaruh rasa kasih sayang terhadap Peserta Didik memperlakukan mereka seperti perlakuan anak kita sendiri. Oleh karena itu seorang Pendidik harus melayani Peserta Didik seperti melayani anaknya sendiri.
2) Tidak mengharapkan balasan jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud mengajar itu mencari keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
3) Memberikan nasihat kepada Peserta Didik pada tiap kesempatan, bahkan gunakan setiap kesempatan untuk menasehatinya.
4) Mencegah Peserta Didik dari segala sesuatu akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dan jangan dengan cara terus terang, dengan cara halus dan jangan dengan jalan mencela. Al-Ghazali menganjurkan pencegahan itu dengan isyarat atau sindiran, jangan dengan terus terang sekiranya terjadipada Peserta Didik itu sesuatu yang merupakan akhlak yang kurang baik.
5) Supaya diperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya dan jangan disampaikan sesuatu yang melebihi tingkat daya tangkapnya, agar ia tidak lari dari pelajaran, ringkasnya bicara dengan bahasa mereka. Ini adalah prinsip tebaik yang kini tengah dipakai.
6) Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri Peserta Didik mengenai suatu cabang ilmu tersebut, tetapi sebaiknya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut. Artinya Peserta Didik jangan terlalu fanatik terhadap jurusan pelajaannya saja.
7) Sebaiknya kepada Peserta Didik yang masih dibawah umur, diberikan pelajaran yang jelas dan pantas buat dia dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia-rahasia yang terkandung dari sesuatu itu, hingga tidak menajdi dingin kemampuan dan gelisa fikirannya.
8) Pendidik harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.
۞أَتَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبِرِّ
وَتَنسَوۡنَ أَنفُسَكُمۡ وَأَنتُمۡ تَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ ٤٤
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab
(Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir.” (Q.S. al-Baqarah: 44)
Dalam surat yang lain
di dalam Al Qur’an.“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang
tidak kamu kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaf: 3).
B. PESERTA DIDIK
1. Pengertian Peserta Didik Dalam Persfektif Islam
Jika bersandar pada konsep
pendidikan sepanjang masa (seumur hidup), maka dalam arti luas yang disebut
dengan Peserta Didik adalah siapa saja yang berusaha untuk melibatkan diri
sebagai Peserta Didik dalam kegiatan Pendidikan, sehingga tumbuh dan
berkembang potensinya, baik yang berstatus sebagai anak yang belum dewasa,
maupun orang yang sudah dewasa.
Dalam bahasa Arab,
setidaknya ada tiga (3) istilah yang menunjukkan makna peserta didik, yaitu murid,
al-tilmīdz, dan al-thālib.
a. Murid berasal dari kata ‘arada,
yuridu, iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan (the
willer). Pengertian ini menunjukkan bahwa seorang peserta didik adalah orang yang
menghendaki agar mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan
kepribadian yang baik untuk bekal hidupnya agar berbahagia di dunia dan akhirat
dengan jalan belajar yang sungguh-sungguh.
b. Al-tilmidz tidak memiliki akar
kata dan berarti pelajar. Kata ini digunakan untuk menunjuk kepada peserta
didik yang belajar di madrasah.
c. Al-thalib berasal dari thalaba,
yathlubu, thalaban, thālibun, yang berarti orang yang mencari sesuatu. Hal ini
menunjukkan bahwa peserta didik adalah orang yang mencari ilmu pengetahuan,
pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal masa
depannya agar bahagia dunia dan akhirat.
Dalam penggunaan ketiga
istilah tersebut biasanya dibedakan berdasarkan tingkatan peserta didik. Murid
untuk sekolah dasar, al-tilmīdz untuk sekolah menengah, dan al-thālib
untuk perguruan tinggi. Namun, menurut Abuddin Nata, istilah yang lebih umum
untuk menyebut peserta didik adalah al-muta’allim. Istilah yang terakhir
ini mencakup makna semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan, mulai
dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Dalam perspektif pendidikan
Islam, Peserta Didik merupakan subjek dan objek. Oleh karena itu proses kependidikan
tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan pesera didik, di dalamnya. Ia adalah
orang yang belajar untuk menemukan ilmu. Karena dalam Islam diyakini ilmu hanya
berasal dari Allah, maka seorang peserta didik harus berupaya untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah dengan senantiasa mensucikan dirinya dan taat kepada
perintah- Nya.
Namun untuk memperoleh
ilmu yang berasal dari Allah tersebut, seorang peserta didik harus belajar pada
orang yang telah diberi ilmu, yaitu guru atau Pendidik. Karena Peserta Didik
memiliki hubungan dengan ilmu dalam rangka upaya untuk memiliki ilmu, maka
seorang peserta didik mesti berakhlak kepada gurunya. Akhlak tersebut tentunya
tetap mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan hadis.
Sebagaimana Hadis Nabi ﷺ, yang artinya, “tidaklah seseorang yang
dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang
me-Yahudikannya atau me-Nasranikannya atau me-Majusikannya.” (HR. Bukhari).[13]Disamping
itu dalam Al-Qur’an. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.an-Nahl: 78)
Dalam
perspektif Islam, anak didik sejak lahir sudah dianjurkan untuk dirangsang
dengan suara-suara, seperti suara adzan, iqamah, suara bacaan ayat-ayat
suci Al-Qur’an, lagu-lagu Islami dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena
manusia pada masa masih berada diperut ibunya telah mengadakan perjanjian
dengan Allah SWT (Q.S Al-A’raf: 172), dan untuk mengeluarkan nilai-nilai
keTuhan-an tersebut perlu dirangsang atau dipancing dengan suara-suara
spiritual.
Disamping itu juga orang tua perlu memberikan nama dan sebutan yang baik
kepada anak tersebut, memberi makanan dan minuman yang baik dan halal (QS.
Al-Baqarah: 168), terutama dengan air susu murni dari ibunya sampai umur dua
tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah: 233.
Kemudian
pada masa anak mulai kelihatan tumbuh potensi biologis, psikologis,
paedagogis-nya, kira-kira umur 2-12 tahun peran pendidikan sudah mulai
diperlukan melalui kegiatan bimbingan, pelatihan, pembinaan, pengajaran dari
orang lain yang lebih dewasa (orang tua atau Pendidik).
Pendidikan disesuaikan dengan kemampuan, bakat, dan minat anak (QS.
Al-Kahfi: 29, QS. al-Rum: 30, QS. Hud: 39). Pada masa ini anak sudah mulai
memasuki wilayah pendidikan di luar institusi keluarga, seperti masuk pendidikan di tingkat
usia dini 2-4 tahun (play group/PAUD) dan pada 4-6 tahun (taman kanak-kanak), Pendidikan sekolah dasar (SD)
umur 6-12 tahun. Pada masa ini kegiatan Pendidikan diarahkan untuk menanamkan
kebiasaan-kebiasaan melalui pemberian contoh berprilaku positif kepada anak.
Pada masa ini anak sudah mulai menfungsikan daya intelektualitas dan tumbuh
kesadarannya sehingga mampu membedakan antara yang baik dan buruk, yang salah
dan benar. Dalam perspektif Pendidikan Islam anak pada usia ini sudah dianjurkan oleh
Nabi. Ia diperintah melaksanakan shalat dan dipukul apabila tidak mau
melaksanakannya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah Hadis yang artinya, “Perintahlah anak-anak
kalian melaksanakan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan pukullah ia
ketika tidak mau melaksanakannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud
dan Hakim).
Oleh
karena itu model Pendidikan yang perlu diberikan adalah diarahkan kepada tiga
ranah Pendidikan, yakni pelatihan intelektual (aspek kognitif) pembinaan moral
atau akhlak atau pembiasaan dan ketaatan untuk menjalankan nilai-nilai ajaran
agama Islam (aspek afektif) dan semangat bekerja atau amal shaleh (aspek
psikomotorik).
2. Karakteristik Yang Dimiliki Peserta Didik
Peserta Didik memiliki
karakteristik yang ada dalam dirinya, sehingga perlu untuk diketahui yaitu:
a. Belum memiliki pribadi dewasa secara moral. Sehingga masih menjadi
tanggung jawab Pendidik (guru) untuk membimbingnya.
b. Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih
menjadi tanggung jawab Pendidik.
c. Memiliki sifat-sifat dasar manusia yang sedang berkembang secara terpadu,
yaitu kebutuhan jasmani (fisik) dan rohani (non-fisiknya).
Rasyidin dan Nizar juga memberikan penjelasan, bahwa Peserta
Didik atau anak didik memiliki karakteristik yang antara lain:[14]
a. Peserta Didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi memilki
dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap
mereka dalam proses belajar mengajar tidak disamakan dengan Pendidikan dewasa,
baik dalam aspek metode, materi, sumber bahan dan lain sebagainya.
b. Peserta Didik adalah manusia yang memiliki deferensiasi (perbedaan)
periodisasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk
diketahui agar aktivitas kePendidikan Islam disesuaikan dengan tingkat
pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap Peserta
Didik.
c. Peserta Didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut
kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
d. Peserta Didik adalah makhluk yang memiliki perbedaan individual, baik yang
disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
e. Peserta Didik merupakan resultan (gabungan) dari dua unsur utama, yaitu
jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan
dan pembiasaan yang dilakukan memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa.
Untuk mempertajam daya akal, maka proses Pendidikan hendaknya diarahkan untuk
mengasah daya intelektualnya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui Pendidikan akhlak dan ibadah.
f. Peserta Didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat
dikembangkan secara dinamis.
3. Akhlak dan Kewajiban Peserta Didik
Asma Hasan Fahmi menyebutkan
empat akhlak yang harus dimiliki anak didik,[15] yaitu:
a. Seorang anak didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit
jiwa sebelum ia menuntut ilmu, karena belajar adalah merupakan ibadah yang
tidak sah dilakukan kecuali dengan hati yang bersih. Kebersihan hati tersebut
dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela, seperti
dengki, menghasut, takabur, menipu, berbangga-bangga, dan memuji diri sendiri
yang selanjutnya diikuti dengan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia seperti
bersikap benar, taqwa, ikhlas, zuhud, dan lainnya.
b. Seorang anak didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka
menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan
mencari kemegahan dan kedudukan.
c. Seorang pelajar harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan bersedia
pergi merantau. Selanjutnya apabila ia menghendaki pergi jauh untuk memperoleh
seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu. Demikian pula ia
dinasehatkan agar tidak sering berganti guru. Jika keadaan menghendaki sebaiknya
ia dapat menanti sampai dua bulan sebelum berganti guru.
d. Seorang anak Peserta Didik wajib menghormati guru dan senantiasa memperoleh
kerelaan dari guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara.
Dalam buku lain (dasar-dasar pokok Pendidikan Islam, Dr. Moh. Athiyah: 1970)
juga menambahkan antara lain;[16]
a. Hendaklah ia menghormati guru dan memuliakannya serta mengagungkannya
karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang
baik.
b. Jangan merepotkan guru dengan banyak pertanyaan, janganlah meletihkan
guru untuk menjawab, jangan berjalan dihadapannya, jangan duduk ditempat
duduknya, dan jangan mulai bicara kecuali setelah mendapat izin dari guru.
c. Jangan membukakan rahasia kepada guru, jangan pula minta pada guru
membukakan rahasia, diterima pernyataan maaf dari guru apabila terselip lidah.
d. Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, bersungguh-sungguh untuk memperoleh
pengetahuan, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting.
e. Jiwa saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara
siswa sehingga seperti saudara kandung.
f.
Siswa harus terlebih
dahulu memberi salam kepada gurunya, mengurangi percakapan dihadapan guru, jangan
mengatakan kepada guru “si anu bilang begini, lain dari yang bapak katakan”.
g. Hendaklah siswa itu tekun belajar, mengulangi pelajarannya diwaktu senja
dan menjelang subuh. Waktu antara isya’ dan makan sahur itu adalah waktu yang
penuh berkah.
h. Bertekad untuk belajar hingga akhir umur, jangan merendakan suatu cabang
ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan
meniru-niru yang didengarnya dari orang-orang yang terdahulu yang mengkritik
dan merendahkan sebagaian ilmu seperti ilmu mantiq dan filsafat.
Dalam hubungan dengan
akhlak seorang anak Peserta Didik, khususnya dengan penghormatan terhadap guru,
dijelaskan lebih lanjut oleh Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
a. Sebagian dari hak guru itu janganlah seorang Peserta Didik banyak bertanya
kepadanya,
b. Jangan pula memaksa untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan
kepadanya.
c. Peserta Didik jangan pula banyak meminta sesuatu pada saat guru sedang
letih,
d. Jangan menarik kainnya jika ia sedang bergerak,
e. Jangan membuka rahasianya,
f. Jangan mencela orang didepannya,
g. Jangan membuat ia jatuh atau terhina di depan orang lain,
h. Kalau guru itu salah maka dimaafkan.
i.
Seorang Peserta Didik
wajib menghormati dan memuliakannya, selama guru itu tidak melanggar larangan
Allah dan melalaikan perintahnya.
j.
Peserta Didik jangan
pula duduk di depannya, dan jika ia membutuhkan sesuatu maka segeralah
berlomba-lomba untuk membantunya.
Selain
itu, seorang anak didik harus mempelajari ilmu yang berhubungan dengan
pemeliharaan hati, seperti bertawakkal, mendekatkan diri kepada Allah, memohon
ampunannya, takut, dan mencari keridlaannya, karena semua itu diperlukan bagi
tingkah laku kehidupan sehari-hari dan bagi kemuliaan seorang alim.
Dengan ilmu yang demikian itu, seseorang menjadi mulia, sebagaimana nabi
Adam as. yang dihormati para malaikat. Para malaikat disuruh sujud kepada nabi Adam,
karena ia memiliki ilmu yang mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad
bin al-Hasan ibn Abdullah dalam sya’ir nya yang artinya :
تَعَلَّمْ فَاِنَ الْعِلْمَ زَيْنُ لِاهْلِهِ وَ
فَضْلٌ وَعُنْوَانٌ لِكُل
المَحَامِدِ
Belajarlah kamu, karena ilmu adalah hiasan bagi orang yang memiliki-nya,
keutamaan dan pertolongan bagi derajat yang terpuji. Dan jadikanlah sehari-hari
yang dilalui sebagai kesempatan untuk menambah ilmu, dan berjuanglah dalam
meraih segenap keluhuran ilmu.
Sejalan dengan itu seorang pelajar harus memelihara akhlak yang mulia, dan
menjauhi akhlak yang buruk seperti kikir, pengecut, sombong dan tergesa-gesa.
Sebaliknya ia harus bersikap tawadlu’, memelihara diri, dan menjauhi dari
berbuat mubazzir dan terlampau kikir, karena sombong, kikir, pengecut, dalam
berlebih-lebihan adalah haram., dan tidak mungkin menjauhinya kecuali dengan
mempelajarinya dan mengetahui ilmu yang sebaliknya.
Hal lain yang dilakukan
oleh anak didik adalah berniat dalam menunutut ilmu, karena niat itu adalah
dasar bagi bagi setiap amal perbutan.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ.
اِنَماَلاَعْمَلُ بِالنِىَاتِ
Bahwasannya amal perbutan itu harus dengan niat.
Berdasarkan hadits diatas, al-Zarnujiy menyarankan agar seorang pelajar dalam menuntut ilmunya berniat untuk mencari keridlaan Allah dan kebahagiaan hidup diakhirat, menghilangkan kebodohan, mennghidupkan agama Islam, karena kelangsungan hidup agama hanya dengan ilmu, dan tidak benar seorang zuhud dan takwa tanpa disertai dengan ilmu.
DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasyi, Mohd. Athiyad, 1987, Dasar-dasr pokok Prndidikan Islam,Jakarta:
Bulan Bintang,
Athiyah, Mohammad. 1970. Dasar- Dasar Pokok Pendidikan
Islam.
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali, 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama
Islam,Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, hal: 81.
Lunggung, Hasan, 1988, Pendidikan Islam Menghadapi Abad
ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna,
Nata, Abuddin, 1997, Filsafat Pendidikan islam , Jakarta:
Logos Wacana Ilmu
Nizar, Samsul, 2002, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan historis
teoritis dan praktis, Jakarta: Ciputat Pres,
Tafsir, Ahmad, 1992, Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam, Bandung:
Rosdakarya,
, 2006, Filsafat
Pendidikan Islam: Integrasi jasmani, rohani dan qolbu memanusiakan
manusia, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
Yasin, Fatah, 2008, Dimensi-dimensi
Pendidikan islam, Malang: Uin-malang press.
UU
No. 20 Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Diambil dari sumber: https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU_no_20_th_2003.pdf,
diakses pada 21 Maret 2019.
Ilmu
Dasar Islam. Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Islam. Diambil
dari sumber: http://www.bk-uhamka.blogspot.com/2013/01/pendidik-dan-peserta-didik-dalam_24.html,
diakses pada 21 Maret 2019.
0 komentar: