Minggu, 23 Desember 2018

FILSAFAT PENDIDIKAN: KONSEP MANUSIA DAN PENDIDIKAN ISLAM

Gambar terkait

Oleh: Rendra Fahrurrozie
STIT Sirojul Falah BOGOR


Latar Belakang
Pembahasan mengenai manusia merupakan bahasan yang tiada habisnya jika digali dari seluruh aspek kehidupannya. Manusia merupakan makhluk yang terunik dan kompleks, sebab manusia mampu mempunyai cara-cara tersendiri dan kreatif dibanding makhluk yang lainnya dalam segala hal. Baik dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan mengembangkan ilmu pengetahuannya dan tekhnologinya sehingga akan berbeda-beda dalam setiap zaman. Ini tidak akan kita temui pada hewan, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Manusia adalah makhluk yang bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Jadi, dari semula ia berbakat filosofis, sebagaimana sudah tampak dengan jelas pada anak-anak. Secara spontan dan tanpa berpikir masak-masak. Seorang anak mempertanyakan segala sesuatu, bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke mana arahnya.[1] Saat manusia itu bertanya akan dirinya, ia mencari dan mengandaikan bahwa akan tercapainya dari pencariannya itu. Yang pada ahirnya menjadi pengalaman dan ilmu yang dikemudian hari disampaikan kepada generasi setelahnya. Inilah manusia, senantiasa ingin tahu dan mengembangkan keingintahuannya itu menjadi pelajaran dan pendidikan.
            Pemahaman tentang manusia dan pendidikan, merupakan bagian dari kajian filsafat. Dalam perkembangan zaman dan pemikiran, manusia mempunyai peran yang sentral dalam setiap peristiwa dikehidupan dunia ini. Berbicara mengenai manusia dan filsafat, manusia dan pendidikan, serta manusia dan pendidikan Islam tentunya akan melibatkan banyak hal terutama hakikat manusia itu sendiri yang dikaji dalam pandangan-pandangan para pemikir dan literatur Islam. Para pemikir Yunani sebelum masehi dan pemikir Muslim di abad pertengahan banyak menuangkan kajiannya mengenai manusia itu. Terlebih, dalam membahasnya sejak awal mula kemunculan, hingga tujuan manusia itu sendiri.
Manusia dan pendidikannya merupakan hal utama dan pertama dalam peran manusia untuk terus hidup dan memakmurkan dunia ini. Sehingga di dalam ruang lingkup filsafat pendidikan[2] adalah semua aspek yang berhubungan dengan upaya manusia untuk mengerti dan memahami hakikat pendidikan itu sendiri, yang berhubungan dengan bagaimana pelaksanaan pendidikan yang baik dan bagaimana tujuan pendidikan itu dapat tercapai seperti yang dicita-citakan. Inilah yang kemudian manusia terus berupaya untuk mengembangkan pengetahuannya melalui pendidikan dari generasi ke generasi.
Dalam keilmuan pendidikan ada 5 (lima) bagian pokok pendidikan yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu konsep tentang manusia, tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, dan proses pembelajaran (Prayitno, 2009: 6-20).[3] Oleh karena itu, melihat urgensinya manusia dan pendidikan ini maka hal tersebut melatar belakangi kami untuk membahas dalam makalah Konsep Manusia dan Pendidikan Islam ini. Sebab, pembahasan mengenai manusia adalah hal yang pasti, saat membicarakan perihal pendidikan Islam Tidak heran banyak penulis filsafat pendidikan senantiasa membahas mengenai manusia ini dalam bukunya, termasuk dalam pembahasan Filsafat pendidikan Islam.

A.    Manusia dalam Pandangan Filsafat dan  Islam
            Pemahaman mengenai manusia adalah kajian yang sangat mendalam dan hal yang sangat penting bagi siapa saja yang ingin mengenal dirinya atau siapa pencipta manusia. Meskipun demikian, setiap manusia memiliki berbagai pandangan dan cara yang berbeda dalam mempelajari dan memahami manusia itu sendiri. Prof. Malik B. Badri (1986)[4] pernah mengatakan bahwasanya seorang ahli fisika dapat menunjukkan objektivitasnya dalam mengobservasi mesin-mesin, namun tak seorang pun dapat menerima objektivitas mutlak dalam mempelajari manusia.
            Pada manusia diberikan potensi akal yang dipersiapkan untuk menerima berbagai macam ilmu pengetahuan untuk interaksinya pada sesama atau alam. Dari pengetahuan itulah manusia menjalani hidup di dunia dan mengembangkannya melalui penelitian, memperoleh pengalaman, serta pendidikan. Sehingga dari waktu kewaktu akan ditemui budaya, tehnologi, dan pola pikir manusia yang senantisa berkembang. Jika mempelajari sejarah masa lalu, kita akan temukan perbedaan tehnologi dan budaya dari manusia. Dan pendidikan merupakan motivator dari berkembangnya budaya manusia hingga terwujudnya kebudayaan manusia yang maju.
            Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara atau tempat dimana pun di dunia ini sangat ditentukan oleh pendidikan yang terlihat pada perilaku dan pemikiran manusia ditempat tersebut. Pendidikan dan budaya mempunyai hubungan yang sangat erat dan terkait satu sama lain, yang korelatif saling mempengaruhi termasuk dalam pembentukan karakter manusia.[5]


1.      Definisi Manusia dan Pendidikan Islam
            Kata “manusia” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, kata “manusia” disepadankan dengan kata “man” dan “human”. dalam bahasa Arab istilah “manusia” secara sederhana disepadankan dengan kata “basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau mampu menguasai makhluk lain’.[6] Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim, manusia disebut sebagai al-hayawan al-nathiq. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.[7]
            Ahli psikologi menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berjiwa. Manusia memiliki personality, kesadaran, dan mempunyai sistem psikologis yang unik bila dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dalam konsep psikologi Islam, jiwa sering disepadankan dengan konsep nafs dalam dalam bahasa Aristoteles adalah nous. Para ahli sosiologi menyebut manusia sebagai makhluk sosial. Ia hidup berdampingan dengan yang lain. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat, tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia tidak bisa lepas dari hubungannya dengan makhluk dan tempat ia berpijak. Para pemikir biologi hanya melihat manusia dari sistem anatomi, fisiologi, dan tatanan struktur tubuh dan metabolisme serta sistem biologi lainnya yang mempunyai karakteristik berbeda dengan makhluk lain. Setiap pemikir dan ahli yang menekuni bidang tertentu melibatkan peranan berpikirnya untuk mengkaji masalah dan konsep manusia ini.[8]
            Sehingga definisi manusia akan banyak ditemukan, pandangan tentang manusia tidak hanya dibahas oleh para pemikir, filsuf, atau pun ilmuwan. Paradigma agama ikut menganalisis dan terlibat dalam membahas konsep manusia. Setiap agama mempunyai pandangan dan paradigma tertentu dalam mengkaji manusia. Begitu pula dengan Islam. Islam dalam ajarannya mengungkapkan tentang kedudukan dan hakikat manusia. Agama Islam lahir untuk manusia sehingga ajarannya membahas tentang manusia.
            Pendidikan dalam bahasa Arab bisa disebut tarbiyah yang berasal dari kata rabba, berbeda dengan kata pengajaran dalam bahasa Arab yang disebut dengan ta’lim yang berasal dari kata ‘allama. Pendidikan Islam sama dengan Tarbiyatul Islamiyah. Kata rabba, beserta cabangnya banyak dijumpai dalam Al Qur’an, misal dalam QS. Al Isra’ [17]: 24 dan QS. Asy Syu’ara [26]: 18. Tarbiyah sering juga disebut ta’dib seperti sabda Rasulullah : “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku, maka aku menyempurnakan pendidikannya).[9] Istilah “tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah ini mengandung makna yang mendalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan non formal.
Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga dapat diartikan suatu ikhtiyar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Tidak mengherankan jika pendidikan telah ada sejak munculnya peradaban manusia.[10]
Secara bahasa, perkataan Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja “salima” yang dalam bentuk mashdarnya adalah kata Islam yang bermakna selamat, sejahtera dan damai. Islam satu kata dengan kata salam yang timbul darinya ungkapan assalamu’alaikum yang membudaya dalam masyarakat Indonesia dengan arti selamat, damai, dan sejahtera.[11] Dari arti bahasa sebenarnya, Islam mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak Allah tanpa perlawanan (menurut Prof. Dr. Muhammad Abdullah Draz), begitu juga Prof. Dr. M. Tahir Azhary bahwa Islam berarti penundukan diri sepenuhnya setiap makhluk Allah SWT terhadap kehendak dan ketetapanNya/sunatullah (M. Tahir Azhary, 2003: 3-4).
Secara terminologis, Islam adalah agama penutup dari semua agama yang diturunkan berdasarkan wahyu Ilahi (Al Qur’an) kepada Nabi Muhammad , melalui malaikat Jibril untuk diajarkan kepada seluruh umat manusia sebagai way of life (pedoman hidup) lahir bathin dari dunia sampai akhirat sebagai agama yang sempurna.[12] Definisi yang bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif) terminologi Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan sesamanya.[13]
Jadi ada 3 hubungan manusia dalam Islam, yang kemudian menjadi dasar Pendidikan Agama Islam baik di dalam keluarga, masyarakat (masjid dan lingkungan sekitar), dan Negara (sekolah dan universitas) yaitu:
a.       Hubungan manusia dengan Tuhannya dalam hal ibadah, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan lain-lainnya.
b.      Hubungan manusia dengan manusia dengan sesama/lingkungan dalam hal muamalah seperti bisnis, sosial, pemerintahan, politik, pendidikan, dll), dan uqubat (hukum).
c.       Hubungan manusia dengan dirinya sendiri akhlak, pakaian, makanan, dan minuman.
Dari interaksi individu manusia dan kelompok sosial akan menciptakan dinamika pemikiran dan budaya (kebiasaan) masyarakat. Dari sinilah terwujudnya pendidikan, termasuk Pendidikan Islam. Tanpa adanya interaksi dan gerak dinamis, akan tidak terjadinya proses-proses pendidikan itu. Sebab, hidup itu sendiri adalah menunjukkan gerakan yang dinamis. Semakin dinamis seorang individu atau kelompok maka semakin baik pula proses pendidikannya dan kehidupannya.
Pendidikan Islam disampaikan kepada masyarakat dengan jalan berdakwah. Dari dakwah inilah proses pendidikan berlangsung dan melahirkan perubahan-perubahan ke arah positif yang dipandu Allah SWT melalui nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah oleh pendidik (Ulama).
Pendidikan Islam secara bahasa dalam rekomendasi Konferensi Dunia tentang Pendidikan tahun 1977 di Jeddah ada tiga, yaitu al tarbiyah, al ta’lim dan al ta’dib.[14] Al Tarbiyah dalam makna sederhana adalah membesarkan tanpa mencakup penanaman pengetahuan dalam proses itu.[15] Adapun Al Ta’lim maknanya adalah pengajaran dan pengajaran itu berlaku juga untuk selain manusia.[16] Adapun Al Ta’dib bisa disebut proses menjadikan seseorang beradab (akhlak mulia). Sehingga al ta’dib dianggap paling cocok untuk istilah pendidikan, didalamnya terkandung unsur ‘ilm, ta’lim, dan  tarbiyah. Akan tetapi, dalam konsep Al Qur’an tidak ada kata yang asal katanya dari “al adaba”, istilah adab ini dikenal dalam peradaban Arab sejak pra Islam yang terkadang diartikan etika. Tapi tidak terkonfirmasi dengan Al Qur’an sama sekali tidak termuat kata itu dan kata yang berakar darinya, sehingga dalam perspektif Al Qur’an tidak mendapat posisi.[17]

            Lain halnya dengan kata Al Tarbiyah, yang berasal dari kata “rabba” yang sangat banyak disebutkan di dalam Al Qur’an yakni sebanyak 1241 kali.[18] Sehingga kata ini mempunyai posisi dalam Al Qur’an mengingat “rabbun” adalah salah satu nama Allah SWT. Menurut Al Raghib Al Asfahani, kata rabbun sesungguhnya yang membentuk kata Al Tarbiyah, yakni التمام إنشاء الشيء حالا فحالا إلى حد : “mengupayakan sesuatu perlahan-lahan menuju kesempurnaan.” Sehingga pendidikan akan terus berlangsung tidak pernah berakhir, karna ia tidak pernah sempurna, ia hanya hadd at tamam (menyempurnakan apa yang kurang).
Khalid Ibn Hamid al-Hazimi mencoba melengkapi definisi Al-Tarbiyah lebih rinci, yakni “membentuk manusia secara bertahap di setiap aspeknya, dengan tujuan mencari kebahagiaan dunia akhirat, yang sesuai dengan pedoman yang Islami.”[19]
            Pendidikan Islam secara istilah didefinisikan oleh banyak ahli diantaranya:  Menurut Muhammad Naquib Al Attas, yakni suatu proses penamaan sesuatu ke dalam diri manusia.[20] Atau pendidikan adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam manusia.[21] Jadi, ada tiga unsur dalam pendidikan yaitu proses, kandungan, dan yang menerima.
Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[22] Dari definisi ini memuat tiga unsur mendukung Pendidikan Agama Islam, yaitu:
a.  Usaha berupa bimbingan bagi pengembangan potensi jasmaniah dan rohaniah secara seimbang,
b.  Usaha tersebut didasarkan atas ajaran Islam, yang bersumber dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijtihad,
c. Usaha tersebut diarahkan pada upaya untuk membentuk dan mencapai kepribadian muslim (Islam). Yaitu kepribadian yang didlamnya tertanam nilai-nilai Islam sehingga perilakunya sesuai dengan nilai-nilai Islam.      
Dari sini dapat dikatakan bahwa Pendidikan Islam, sebenarnya terfokus pada pengembangan akhlak mulia,[23] yang dipadu ilmu sosial, eksakta, dan humaniora.[24]  

2.      Manusia dalam Pandangan Filsafat
            Membicarakan manusia memang baru mulai sekitar tahun 600 SM, dahulu para filsuf banyak berkonsentrasi pada persoalan-persoalan alam semesta, baru kemudian berkonsentrasi pada masalah-masalah manusia. Sejak itu mulai pencarian dengan seksama tentang hakikat manusia. Tokoh-tokoh filsafat manusia pada masa itu antara lain Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Lubis dan Adian,  menjelaskan bahwa setelah para filsuf menyibukkan diri dengan kontemplasi terhadap alam semesta, muncullah para filsuf yang memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan manusia.
            Para filsuf seperti Socrates (470-399 SM), Plato (429-347 SM), dan Aristoteles (384 322 SM) banyak mengemukakan pemikiran tentang bagaimana hidup bermasyarakat dengan baik, munculah untuk pertama kalinya sebuah disiplin dalam filsafat yaitu Etika. Pythagoras (580-500 SM) mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap kosmos, melainkan jalan keselamatan hidup. Tujuan hidup bagi Pythagoras adalah membebaskan jiwa dari keterbelengguan badani menuju keselamatan (bersatu kembali dengan jiwa alam semesta). Semakin kita memikirkan orang lain, kita semakin mendekati kesejatian.[25]
            Mengenai hakikat manusia, Muhmidayeli[26] (2011: 43-60) menyebutkan beberapa tokoh filsafat yang memberikan pandangan mengenai manusia, antara lain sebagai berikut:
a.      Plato: Manusia sebagai pribadi yang tidak terbatas pada saat bersatunya jiwa dengan raga. Manusia lahir ke dunia telah membawa ide kebaikan (innate idea).
b.      Aristoteles: Manusia adalah makhluk organis yang fungsionalisasinya tergantung pada jiwanya.
c.       Rene Descartes (1596-1650): Hakikat manusia ada pada aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat jiwa.
d.      Schopenhauer (1788-1860): Kesadaran dan intelek hanyalah permukaan jiwa kita, di bawah itu ada kehendak yang tidak sadar. Kehendak adalah suatu kekuatan yang menggerakkan intelek itu untuk dirinya. Kehendak dapat mengakibatkan hidup tertekan dan merupakan penderitaan, maka perlu kebijaksanaan. Selanjutnya banyak ahli yang terpancing untuk membicarakan tentang kesadaran tersebut.
e.       Auguste Comte (1798-1857): Berupaya menjelaskan tahap per kembangan intelek manusia dengan hukum tiga tahapnya.
f.       Edmund Husserl (1859-1938) berupaya membuat kategorisasi kesadaran dan aktivitasnya yang kemudian mempengaruhi analisis eksistensial yang dibuat oleh Martin Heidegger (1889-1976) dengan mengatakan bahwa keterlemparan manusia di dunia memastikan dirinya mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari masalah yang satu ke masalah lain tanpa henti.
            Dalam persfektif aliran filsafat, terdapat empat aliran yang mengemukakan mengenai manusia. Zuhairini, dkk.[27] menyebutkan bahwa aliran tersebut adalah aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme.
Pertama, Aliran serba zat; mengatakan bahwa yang benar-benar ada itu adalah zat atau materi. Zat atau materi adalah hakikat dari sesuatu. Alam ini adalah zat atau materi, dan manusia adalah unsur dari alam. Maka, hakikat manusia, menurut aliran ini adalah zat atau materi.
Kedua, Aliran serba ruh; menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah ruh. Hakikat manusia adalah ruh. Adapun zat merupakan manifestasi ruh.
Ketiga, aliran dualisme; aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat, keduanya saling mempengaruhi.
Keempat, aliran eksistensialisme; aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini. Eksistensi manusia sangat berkaitan dengan proses terjadinya, wujud yang beraneka ragam (baik langsung atau tidak langsung) yang bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan, dalam hal ini dinamakan sebagai emanasi.[28]

Sekilas Mengenai Teori Emanasi
            Dalam filsafat, emanasi adalah proses terjadinya wujud yang beraneka ragam, baik langsung atau tidak langsung, bersifat jiwa atau materi, berasal dari wujud yang menjadi sumber dari segala sesuatu yakni Tuhan, yang menjadi sebab dari segala yang ada, karenanya setiap wujud ini merupakan bagian dari Tuhan. Pemikiran ini melahirkan teori eksistensi alam semesta dan manusia, bahwa Allah SWT sebagai Tuhan memberikan pancaran, sehingga terwujudlah alam ini sebagai hasil dari pancaran tersebut.         
            Teori emanasi merupakan pengaruh langsung dari Filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam, khususnya filsuf muslim seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya. Konsep emanasi pernah dilontarkan oleh para filosof Yunani antara lain sebagai berikut:
a.       Pythagoras (580-500 SM)
Dua di antara pokok-pokok pikiran Pythagoras yang penting adalah: Pertama; suatu ajaran bahwa jiwa tidak dapat mati. Kedua, usaha mempelajari ilmu pasti.
Di antara pokok-pokok pikirannya tentang manusia adalah bahwa jiwa tidak dapat mati. Ia meyakini bahwa jiwa merupakan penjelmaan dari Tuhan yang turun ke dunia karena telah melakukan perbuatan dosa. Namun, jiwa akan kembali ke Tuhan jika ia telah menjadi suci. Oleh karena itu, bagi manusia tidak cukup hanya mensucikan jasmaninya, terlebih lagi manusia harus mensucikan jiwanya. Pensucian jiwa ini tidak dapat dilakukan sekaligus, tetapi harus berangsur-angsur. Oleh karena itu, jiwa bisa berinkarnasi untuk mensucikan dirinya.[29]
b.      Plato (427-347 SM)
Ajaran filsafat dari Plato yang berkaitan dengan konsep emanasi ini adalah rumusan dia tentang “idea.” Menurut Plato, terdapat dua macam dunia, yaitu dunia yang kelihatan (horaton genus) dan dunia yang tidak kelihatan atau yang dapat dipikirkan (kosmos noetos).[30] Dunia yang dipikirkan itulah yang disebut dengan dunia idea.[31]
Plato yang berpendapat bahwa dunia ini ada yang dapat diamati, dan ada yang tidak dapat diamati yaitu dunia idea (teori dualisme). Idea mempunyai banyak pengertian dan mempunyai banyak tingkatan-tingkatan derajat. Derajat tertinggi dari idea adalah idea kebaikan. Ia mengemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi tubuh dan dimensi jiwa atau rohani dan jasmani. Di antara keduanya terdapat garis pemisah yang ketat. Namun, di antara keduanya terdapat pula pertautan yang kuat. Menurut Plato, tubuh merupakan gambaran dari jiwa. Tubuh dan jiwa mempunyai watak-watak masing-masing.[32]
c.       Aristoteles (384-322 SM)
Mengenai Tuhan, menurut Aristoteles adalah penggerak. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya maka harus ada penggerak di mana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.[33]
Ia berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu tubuh, jiwa, dan ruh. Manusia sebagai makhluk yang berdiri sendiri dan berkembang menjadi bentuk lain yang tidak dapat dilepaskan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Ruh merupakan kemampuan yang reflektif dan khas bagi manusia, namun manusia sendiri tidak sanggup menjelaskan secara pasti tentang ruh tersebut, karena masalah ruh adalah masalah metafisik.[34]

d.      Plotinus (205-270 M)
Pada dasarnya Plotinus tidak bermaksud mengemukakan teori filsafat sendiri, tetapi dia memperdalam teori-teori yang dikemukakan oleh Plato. Oleh karena itu, dia dianggap sebagai seorang Neoplatonis. Teori dualisme Plato oleh Plotinus dinaikkan tingkatannya dalam satu kesatuan yang lebih tinggi yaitu dalam “Arus Ilahi”. Dengan demikian, kalau teori dualisme Plato bersifat antroposentris[35], tetapi dualisme Plotinus bersifat teosentris yakni bahwa asal-usul dan sumber bagi segala yang “ada” dan “yang satu” itu bukanlah “ada” tetapi “adi-ada” yang tak terhingga dan absolut. Teori ini yang kemuadian hari disempurakan oleh filsuf muslim Al Farabi tentang ke-tauhid-an.
Mengenai manusia, Plotinus juga dipengaruhi oleh pemikiran Plato mengenai akal dan jiwa. Menurutnya, jiwa adalah suatu kekuatan ilahiah; jiwa merupakan sumber kekuatan, tidak dapat dibagi karna ia satu, semua manusia berjiwa. Dikenal dengan dengan emanasi jiwa.  Akal bagi Plotinus, menempati tempat yang rendah sebab metafisika lebih tinggi dari sains dan ilmu alam,[36] sehingga ilmu pengetahuan pada masa-masa pengikutnya sangat dikekang terutama jika berbicara menganai rasional. Sehingga pada masa Kaisar Justianus (527-565 M) melarang pengajaran filsafat di Athena dan menghukum berat orang yang mempelajari filsafat rasional. Pengikut Plotinus dikenal dengan Neoplatonisme.
            Filsuf muslim seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya membahas pemikiran filsafat Yunani ini. Dengan teori dan pemikiran Islam. Sehingga apa yang bertentangan dengan akidah Islam, dapat diselamatkan dengan pemikiran yang sesuai dengan Islam.
2.      Manusia dalam Pandangan Islam
            Manusia dalam pandangan Islam, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah (QS. Al-Alaq (96):1-2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah yang lainnya (QS. At-Tin (95):4). Dalam pandangan Taqiyuddin, yang menyatakan bahwa manusia, alam semesta, dan hidup merupakan unsur yang bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan membutuhkan kepada yang lain. Apabila segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan dapat disimpulkan bahwa semuanya tidak azali. Dengan demikian segala yang terbatas pasti diciptakan oleh yang lain yaitu al-Khaliq. Dialah yang menciptakan manusia, hidup, dan alam semesta.[37] Jadi, manusia adalah makhluk ciptaan yang sepenuhnya mengabdikan diri kepada penciptanya, Allah SWT. Manusia  memiliki potensi dan peran yang besar dalam hidup dan alam semesta ini.
            Dalam al-Qur‘an manusia disebut dengan berbagai nama, di antaranya: al-basyar, al-insān, banî ādam, dan an nas. Nama sebutan ini mengacu kepada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia. Sehubungan dengan hal itu, maka untuk memahami peran manusia, perlu dipahami konsep yang mengacu kepada sebutan-sebutan tersebut.[38]
a.      Manusia sebagai al-Basyar (البشر)
            Manusia dalam konsep al-basyar dipandang dari pendekatan biologis (Muhaimin, 1993:11). Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga menampilkan sosok dalam bentuk fisik material, berupa tubuh kasar (jasmani). Dalam kaitan ini, manusia merupakan makhluk jasmaniah yang secara umum terikat dengan kaidah-kaidah umum dari kehidupan makhluk biologis.
            Selama masa kehidupannya sebagai makhluk biologis, manusia dalam perkembangannya memerlukan makan dan minum. Setelah dewasa manusia memerlukan pasangan hidup untuk menyalurkan dorongan seksualnya. Sebagai makhluk ciptaan, pemenuhan kebutuhan itu telah diatur oleh Penciptanya. Tujuan utama dari ketentuan dan tata aturan dari Sang Pencipta itu adalah agar manusia dapat menjalan peran dalam hidupnya secara benar, sesuai dengan hakikat penciptaannya. Melalui peran tersebut, diharapkan manusia akan selalu berada dalam kondisi kehidupan yang selamat.
b.      Manusia sebagai Al-Insan (الا نسان)
            Kata al-Insan sebagai kata bentukan yang termuat dalam al-Qur’an, yang mengacu pada potensi yang diberikan Allah kepada manusia. Potensi tersebut antara lain berupa potensi untuk bertumbuh dan berkembang secara fisik (QS. Al- Mukminun (23): 12-14) dan juga potensi untuk tumbuh dan berkembang secara mental spiritual.
            Perkembangan tersebut antara lain meliputi kemampuan untuk berbicara (QS. Al-Rahman: 4), menguasai ilmu pengetahuan melalui proses tertentu, dengan mengajarkan manusia dengan kalam (baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-Alaq: 4-5), kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal di alam ruh, dalam bentuk kesaksian (QS. Al-A‘raf: 172). Potensi untuk mengembangkan diri ini (yang positif) memberi peluang bagi manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya. Paling tidak pada tahap yang paling rendah adalah mampu mencari dan menemukan yang baik, benar dan indah, untuk dijadikan rujukan dalam bersikap dan berperilaku. Dengan cara seperti diharapkan manusia mampu mengembangkan potensi individunya, guna mencapai kehidupan yang berkualitas.
c.       Manusia sebagai Al Nas (الناس)
            Dalam al-Qur‘an kosa kata al-Nas umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan perempuan, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa, untuk saling kenal-mengenal (QS. 49: 13). Manusia menjadi makhluk sosial yang secara fitrah senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga) hingga ke yang paling besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.
            Kehidupan sosial yang demikian itu tampaknya memang diprioritaskan dalam ajaran Islam, sebagai yang tergambarkan bahwa kata al-nās terulang sekitar 24 kali dalam al-Qur‘an. Kemampuan untuk memerankan diri dalam kehidupan sosial, sehingga dapat mendatangkan manfaat, merupakan usaha yang sangat dianjurkan. Dengan demikian, konsep al-nas mengacu kepada peran dan tanggung-jawab manusia.
            Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur merupakan gambaran tentang kehidupan sosial manusia tersebut, yang ditandai oleh: keharmonisan; toleransi, serta adanya perlindungan hak dan kewajiban antar warga yang anggotanya terdiri atas individu, dan kelompok yang memiliki peradaban tinggi serta beriman kepada Allah SWT yang masyarakatnya hidup teratur dalam kepemimpinan tokoh yang beriman dan bertakwa.[39]
d.      Manusia sebagai Bani Adam (بني آدم)
      Manusia sebagai Bani Adam termaktub di tujuh tempat dalam al-Qur‘an. Kata ‘bani’ berarti keturunan, sedangkan panitia Penafsir al-Qur‘an Departemen Agama RI, mengartikannya sebagai “umat manusia” yang berasal dari silsilah keturunan Adam a.s. (Panitian Penafsiran, 1971: 224, catatan kaki nomor 530).
      Dalam konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan Allah agar tidak tergoda oleh setan (QS. Al-A‘raf: 26-27), pencegahan dari makan dan minum yang berlebih-lebihan, serta tata berpakaian yang pantas saat melaksanakan ibadah (QS. Al-A‘raf: 31), bertakwa dan mengadakan perbaikan (QS. Al-A‘raf: 35), kesaksian manusia terhadap tuhannya (QS. Al-A‘raf: 172), dan terakhir peringatan agar manusia tidak terperdaya hingga menyembah setan, dengan mengingatkan manusia mengenai status setan sebagai musuh yang nyata (QS. Yasin: 60).
      Konsep Bani Adam selebihnya mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Konsep ini menitikberatkan pada upaya pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia. Menyatukan visi bahwa manusia pada hakikatnya berawal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam a.s. Dengan demikian, manusia, apapun latar belakang sosio-kultural, agama, ras, bangsa dan bahasanya, harus dihargai dan dimuliakan. Dalam tataran ini manusia akan berstatus sebagai sebuah keluarga yang bersaudara, karena berasal dari nenek moyang yang sama.
Manusia Sebagai Makhluk Multidimensional dan Multipotensial[40]
      Dalam falsafat Islam dikenal manusia itu sebagai makhluk multidimensional dan multipotensional. Manusia sebagai makhluk multidimensional setidak-tidaknya memiliki 7 dimensi (aspek) dalam kehidupannya.
1.      Dimensi jasmani. Jasmani diakui Islam eksistensinya karena jiwa dibutuhkan badan agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi dan tugasnya. Tanpa bantuan badan jiwa tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya seperti berpikir, merasa, dan bertindak. Dimensi jasmani melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-basyar.
2.      Dimensi Rohani/Spiritual Keagamaan. Rohani (spiritual keagamaan) adalah pokok dan sentral dari kehidupan manusia. Pengambangan dimensi ini adalah untuk tujuan utama manusia, yaitu beribadah pada Allah SWT. Pengembangan dimensi dan potensi ini dalam Islam melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-ins.
3.      Dimensi Akidah. Pada hakikatnya tiada seorang pun manusia ini yang ateis, karena dimensi akidah (agama, ketuhanan) sudah ada pada setiap manusia sebelum ia dilahirkan ke bumi, sekalipun ia bukan dilahirkan dari seorang ibu yang non-Islam. Pengembangan dimensi akidah/agama ini melukiskan konsep manusia sebagai al-ins dan makhluk agamais.
4.      Dimensi sosial. Setiap manusia dilahirkan menjadi salah seorang anggota kelompok sosial, man is born a social being. Dengan demikian manusia adalah makhluk sosial. Pengembangan dimensi sosial melukiskan konsep manusia sebagai sosok an-naas.
5.      Dimensi akhlak. Akhlak merupakan pula salah satu dimensi pokok dalam kehidupan manusia menurut Islam. Pendeknya kalau akhlak sudah mulia, kesehatan jiwa akan diperoleh, kebahagiaan akan dicapai, kesempurnaan akan dirasakan, serta pada akhirnya manusia dapat berhubungan dan bersatu dengan Allah. Pengembangan dimensi akhlak ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok 'ibaadullah.
6.      Dimensi akal. Akal adalah satu-satu dimensi kehidupan yang meninggikan manusia dari malaikat dan hewan karena dengannya kualitas manusia menjadi bertambah tinggi dan kedudukannya semakin unik di bumi. Dalam pengembangan dimensi akal ini ajaran Islam memiliki potensi dan sumber motivasi yang besar bagi manusia untuk berkembang, karena ajarannya banyak bersifat rasional. Pengembangan dimensi akal ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok al-unaas.
7.      Dimensi estetika. Ajaran Islam tidak membantah adanya dimensi estetika (seni) dalam kehidupan manusia dan nilainya cukup tinggi dari nilai politik. Prinsip seni dalam Islam menjadikan seni untuk peningkatan harkat, martabat, kebahagiaan, dan kualitas hidup manusia. Pengembangan dimensi estetika ini melukiskan konsep manusia sebagai sosok yang indah dan halus.
            Sedangkan manusia sebagai makhluk multipotensial[41] memiliki banyak potensi baik (fitrah) dalam kehidupannya. Fitrah atau potensi baik itu adalah dalam bentuk akhlak dan sifat-sifat Allah yang agung sebagai yang terkandung dalam asmaaul husnaa. Asmaaul husnaa merupakan potensi yang dikaruniakan Allah kepada manusia yang wajib ditumbuh-kembangkan melalui kegiatan pendidikan Islam.
            Manusia memang memiliki kemungkinan untuk menumbuh-kembangkan potensi-potensi itu seoptimal mungkin, tetapi tidak akan mampu menandingi sifat-sifat keMaha-an Allah. Kalau manusia memaksakan juga, itu namanya tidak amanah dan melampaui batas serta bisa mengundang timbulnya kebinasaan. Misalnya, dalam kehidupan seperti apa yang dialami oleh Fir'aun dalam pengembangan sifat kuasanya sehingga ia mendakwakan dirinya sebagai Tuhan yang wajib disembah, dan akhirnya ia mengalami kebinasaan. Pengembangan potensi sebatas kemampuan dan amanah yang dibebankan kepada manusia itulah makna ibadat dalam arti luas, serta itu pula makna pendidikan dalam Islam. Sehingga pendidikan hendaklah pula upayanya dimaksudkan untuk mengembangkan potensi akhak dan sifat-sifat Allah SWT yang dimiliki umat agar pas dan pasti. Konsep manusia semacam ini adalah juga konsep insan saleh, insan kamil atau manusia seutuhnya dalam Islam yang menjadi tujuan pelayanan pendidikan. Konsep ini adalah pula konsep manusia yang seimbang dalam partumbuhan dan perkembangan kepribadiannya secara total yang didapat melalui pelatihan jiwa, semangat, motivasi dan kekuatan spiritual keagamaan serta intelektual, rasionalitas diri, emosional, sosial, dan kepekaan rasa tubuh. Dengan dimikian pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia dalam segala hakikat, dimensi dan potensinya, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong semua pengembangan itu untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
            Terwujudnya konsep manusia mulidimensional dan multipotensial di atas sudah barang tentu meminta sejumlah persyaratan. Apakah itu persyaratan yang bersifat internal maupun eksternal. Di antara persyaratan internal adalah
will (kemauan kuat, kebulatan tekad) dari umat Islam sendiri untuk mewujudkan, membangkitkan, atau menumbuh
-kembangkan nilai-nilai keIslaman dalam segala aspek kehidupan menuju kebangkitan Islam kembali.

B.     Konsep Manusia dan Pendidikan Islam[42]
            Perlu ditegaskan kembali secara filosofis bahwa perspektif pendidikan berhubungan erat dengan upaya pembentukan dan perwujudan manusia dan masyarakat, karena yang dikaji oleh pendidikan itu adalah juga manusia dan masyarakat. Bagaimana gambaran manusia dan masyarakat yang kita cita-citakan begitu pulalah bentuk pendidikan yang hendak direncanakan, karena manusia dan masyarakat itulah yang menjadi unsur yang amat pokok dan penting dari sistem dan kegiatan pendidikan Islam.
            Bertitik tolak dari dasar pemikiran di atas maka bentuk pendidikan yang kita susun hendaklah pula mengacu kepada image manusia dan masyarakat yang dicita-citakan Islam yang bersifat hakiki, multidimensional dan multipotensial. Dalam dunia psikologi ada semboyan yang mengatakan bahwa new psychology
is new image of man, semboyan ini tentu berlaku pula dalam dunia pendidikan Islam. Dengan kata lain pendidikan Islam sebagai sarana untuk mengkaji dan mewujudkan masa depan umat Islam yang cerah, maka filosofi kajian dan implementasinya hendaklah berbentuk usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta mau menemukan hakikat diri, meluaskan dimensi kehidupan dan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, sehingga dengan itu umat dapat mengatasi masalahnya dan menjawab tantangan zaman serta merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat plus terpelihara
dari azab neraka di dunia maupun akhirat. Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil akhirati hasanah waqinaa 'adzaaban naar. Kebahagiaan dunia dalam arti keadaan yang baik dan optimal dalam kehidupan dunia berupa peroleh nikmat, afiat dan taufik dari Allah SWT. Kebahagiaan akhirat dalam arti kondisi yang baik dan selamat di dalam kehidupan akhirat kelak berupa rahmat, ihsan dan keselamatan (alnajaah) yang diperoleh. Taqiyah (terpelihara) dari azab neraka dalam arti bebas dari siksaan, gangguan dan azab yang ada di dunia dan akhirat. (Dinasril Amir, 2005: 97) Pendidikan Islam jangan hanya dipahami sebagai upaya pembentukan pengetahuan, akan tetapi lebih daripada itu adalah usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta usaha meluaskan dimensi kehidupan dan potensi diri seoptimal mungkin, baik sebagai persona maupun masyarakat, sehingga menemukan hakikat diri. Karena hidup itu menuntut perubahan dan pembelajaran, kemajuan, perjuangan (jihad) dan pembangunan, serta perluasan dimensi dan pengembangan potensi diri seoptimal mungkin.
            Al Quran dengan tegas-tegas mengingatkan bahwa Allah SWT tidak akan mengubah nasib (kehidupan) suatu kaum, kalau kaum itu tidak mau mengubah nasibnya. Inna Allaaha laa yughaiyiru maa biqaumin hattaa yughaiyiru maa bi anfusihim. Sesungguhnya kehidupan itu adalah akidah dan jihad perjuangan.
            Kegiatan-kegiatan pendidikan Islam hendaklah ditujukan kepada perbaikan dan peningkatan kualitas hidup manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensional, sehingga kegiatan pendidikan dapat mewujudkan manusia khalifah dan insan saleh (kamil) yang menjadi dambaan Islam. Jadi jelasnya, mesti ada aktivitas pendidikan Islam yang memotivasi manusia dalam mengembangkan dimensi jasmani, rohani, akhlak, sosial, akidah, akal, dan estetika, serta mengem-bangkan potensi (fitrahnya) dalam segala aspeknya. Dengan kata lain pendidikan Islam hendaklah mampu memotivasi umat dalam mewujudkan manusia Islam, yaitu makhluk jasmani (albasyar), spiritual (al-ins), sosial (annaas), rohani atau kejiwaan (al-insaan), berakal (alunaas), beragama ('ibaadullah), dan berestetika
(jamiil).
            Dalam kaitannya dengan pembenahan lembaga pendidikan Islam maka harus ada upaya dan persepsi pendidikan Islam untuk mengembangkan konsep pendidikan yang holistik atau dalam bentuk pendidikan yang multidimensional dan multipotensial tersebut. Dalam hubungan dengan pengertian ini maka isu-isu dan kegiatan yang menyangkut dengan ekonomi (penghapusan kemiskinan), kejiwaan (kesejukan hati), sosial, seni-budaya, pengembangan pendidikan dan ilmu pengeta-huan serta industrialisasi (mengejar keterbe-lakangan dan membasmi kebodohan) adalah penting diangkat menjadi tema-tema pendidikan Islam.
            Kalau dunia Islam mau menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk mewujudkan manusia dan masyarakat multidimensional dan multipotensial dalam Islam, maka mereka harus berani melakukan kebijakan Islamisasi dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kehidupan bermasyarakat Islam. Apakah itu dalam bentuk mengubah sistem dan pola pelayanan pendidikan dari apa yang berlaku sekarang, misalnya dengan mengubah kurikulum pendidikan Islam.
            Dalam perubahan kurikulum penekanannya hendaklah ditekankan pada usaha mengubah kondisi material, membangun sumber daya manusia, serta mengembangkan dimensi dan potensi individu dan masyarakat, ataupun dari orientasi yang tidak seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi seimbang dan harmonis.
            Pendeknya perluasan dan pengembangan persepsi, wawasan, orientasi, materi, fungsi, peranan, sifat, tema, sistem, metode, taktik dan strategi, serta pendekatan pendidikan Islam di zaman yang menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia) dan HMM (harkat dan martabat manusia) ini perlu diperbaharui kembali (semacam usaha tajdid) terhadap lembaga-lembaga pendidikan dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK yang diasimilasikan dengan keimanan dan ketakwaan (imtak), sehingga dengan demikian dapat diatasi masalah, dihadapi tantangan, dan dipenuhi harapan umat Islam. Kalau tidak Era Globalisasi dan Industrialisasi hanya akan membuat umat lupa kepada Allah SWT dan agama-Nya, merusak HAM dan HMM, menjadi beban dan masalah bagi kehidupan manusia (tidak menjadi rahmat), serta menjadi ancaman bagi kehidupan sosial-budaya umat. Bukankah pendidikan Islam itu dalam persepsi dan orientasinya bertujuan untuk mengantarkan manusia menjadi manusia Islam yang senantiasa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan akhirat serta terpelihara dan terbebas dari azab neraka dengan menekankan keseimbangan antara kualitas ipteks dan imtak dalam kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial.

PENUTUP
A.    SIMPULAN
      Dari uraian yang telah dikemukakan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.                
1.      Mempelajari teori tentang manusia, memang tiada habisnya. Setiap disiplin ilmu akan mempunyai cara pandang berbeda mengenai manusia itu. Manusia adalah makhluk yang bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Maka lahirlah berfikir filsafat dalam hal ini, apalagi dikaitkan dengan pendidikan tentu akan terhubung. Sebab, dalam keilmuan pendidikan ada 5 (lima) bagian pokok pendidikan yang penting dikaji dan dipelajari, yaitu konsep tentang manusia, tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik, dan proses pembelajaran (Prayitno, 2009: 6-20).
2.      Kata “manusia” merupakan istilah dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris, kata “manusia” disepadankan dengan kata “man” dan “human”. dalam bahasa Arab istilah “manusia” secara sederhana disepadankan dengan kata
“basyar”, “insan”, dan “nas”. Dalam konteks bahasa Indonesia, “manusia” diartikan sebagai ‘makhluk yang berakal budi atau mampu menguasai makhluk lain’. Tetapi para filsuf mempunyai pemikiran bahwa manusia dalah makhluk yang berpikir atau dalam bahasa filsuf muslim, manusia disebut sebagai al-hayawan alnathiq. Hal ini dikaitkan dengan penggunaan logika sebagai paradigma berpikir.
3.      Pendidikan dalam bahasa Arab bisa disebut tarbiyah yang berasal dari kata
rabba, berbeda dengan kata pengajaran dalam bahasa Arab yang disebut dengan
ta’lim yang berasal dari kata ‘allama. Pendidikan Islam sama dengan Tarbiyatul
Islamiyah. Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia.
4.      Perkataan Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja
“salima” yang dalam bentuk mashdarnya adalah kata Islam yang bermakna


selamat, sejahtera dan damai. Definisi yang bersifat jami’ (komprehensif) dan mani’ (protektif) terminologi Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمuntuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya, dan manusia dengan sesamanya.
5.      Dalam pandangan filsafat, baru dimulai pembicaraan mengenai manusia sejak 600 SM, yang dahulu para filsuf banyak berkonsentrasi pada persoalan-persoalan alam semesta, baru kemudian berkonsentrasi pada masalah-masalah manusia. Tokoh-tokoh filsafat manusia pada masa itu antara lain Pythagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles. Para filsuf ini banyak mengemukakan pemikiran tentang bagaimana hidup bermasyarakat dengan baik, munculah untuk pertama kalinya sebuah disiplin dalam filsafat yaitu Etika. Kemudian Pythagoras yang mengatakan bahwa filsafat tidak semata-mata kontemplasi terhadap kosmos, melainkan jalan keselamatan hidup. Seiring berjalannya waktu, bermunculah aliran-aliran filsafat yang dibawa oleh masing masing tokoh Filsuf Yunani tersebut, seperti aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme. Dari aliran eksistensi ini dikenal teori emanasi, yang mana teori ini jika ditelaah lebih jauh akan bertentangan dengan akidah Islam, sehingga perlu bagi pemikir Islam untuk menjelaskan dengan pandangan Islam.
6.      Manusia dalam pandangan Islam, bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah (QS. Al-Alaq (96):1-2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah yang lainnya (QS. At-Tin (95):4). Dalam hal ini terbagi menjadi 4 fungsi manusia dalam Islam. Yakni, albasyar, al-insān, banî ādam, dan an nas. Nama sebutan ini mengacu kepada gambaran tugas yang seharusnya diperankan oleh manusia.
7.      Secara filosofis bahwa perspektif pendidikan berhubungan erat dengan upaya pembentukan dan perwujudan manusia dan masyarakat, karena yang dikaji oleh pendidikan itu adalah juga manusia dan masyarakat.
8.      Bertitik tolak dari dasar pemikiran di atas maka bentuk pendidikan yang kita susun hendaklah pula mengacu kepada image manusia dan masyarakat yang dicita-citakan Islam yang bersifat hakiki, multidimensional dan multipotensial. Yakni pendidikan Islam sebagai sarana untuk mengkaji dan mewujudkan masa depan umat Islam yang cerah, maka filosofi kajian dan implementasinya hendaklah berbentuk usaha memotivasi manusia untuk mau berubah dan belajar, maju dan berkembang, serta mau menemukan hakikat diri, meluaskan dimensi kehidupan dan mengembangkan potensi diri seoptimal mungkin, sehingga dengan itu umat dapat mengatasi masalahnya dan menjawab tantangan zaman serta merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat plus terpelihara dari azab neraka di dunia maupun akhirat.
9.      Kegiatan-kegiatan pendidikan Islam hendaklah ditujukan kepada perbaikan dan peningkatan kualitas hidup manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensional, sehingga kegiatan pendidikan dapat mewujudkan manusia khalifah dan insan saleh (kamil) yang menjadi dambaan Islam.
10.  Dalam kaitannya dengan pembenahan lembaga pendidikan Islam maka harus ada upaya dan persepsi pendidikan Islam untuk mengembangkan konsep pendidikan yang holistik atau dalam bentuk pendidikan yang multidimensional dan multipotensial tersebut.
11.  Dalam perubahan kurikulum penekanannya hendaklah ditekankan pada usaha mengubah kondisi material, membangun sumber daya manusia, serta mengembangkan dimensi dan potensi individu dan masyarakat, ataupun dari orientasi yang tidak seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat menjadi seimbang dan harmonis.
12.  Pendidikan Islam itu dalam persepsi dan orientasinya bertujuan untuk mengantarkan manusia menjadi manusia Islam yang senantiasa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya di dunia dan akhirat serta terpelihara dan terbebas dari azab neraka dengan menekankan keseimbangan antara kualitas IPTEK dan imtak dalam kehidupan manusia sebagai makhluk multidimensional dan multipotensial.
 B.     SARAN
      Dalam makalah ini kami akan memberikan saran-saran berikut ini sebagai pandangan penulis terhadap pembaca.
1.      Kajian tentang manusia dalam filsafat harus kita pahami sebagai suatu metode untuk berfikir yang masing masing mempunyai cara pandang berbeda dan terbatas. Sebab itulah manusia, mempunyai sifat terbatas. Karnanya, ketika berfikir tentang awal mula manusia akan lebih baik kita merujuk pada Al Khalik yakni Allah SWT sebagai pencipta manusia dan lebih mengetahui secara pasti tentang manusia, keinginannya, kebutuhannya dan yang terbaik bagi manusia itu didalam ajaran Islam.
2.      Teori emanasi yang menyatakan bahwa alam dan manusia adalah pancaran dari Tuhan, alam adalah terdahulu dan kekal, Tuhan adalah penggerak serta mengenai keesaaan Tuhan. Adalah teori dari Filsafat Yunani yang perlu kita seleksi dalam pemikiran itu, tidak dijadikan sandaran utama dalam berfiki tentang Allah, dan mahlukNya. Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina dan lainnya telah mencoba menjawab teori ini, yang harus disesuaikan dengan akidah Islam.
3.      Manusia sebagai mahuk multidimensi dan multipotensi sangat baik jika kita dalami dengan pemahaman yang sifatnya pengembagan manusia dalam pendidikan Islam. Sebab, Islam telah memberikan cara dan metode dalam pengembangan manusia dengan melihat Rasulullah , para sahabatnya, ulama-ulama, serta para khalifah pada zaman kehilafahan memberikan kontribusi positif dalam keilmuan dan tehnologi. Sehingga pada masa Khilafah bani Abbasiyah terkenal dengan masa keemasan (The Golden Ages.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz. 2002. Diskursus Islam Politik dan Spiritual. Jakarta: Wadi Press.
Al Attas, Muhammad Naquib.1996. Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan Haidar           Bagir. Bandung: Mizan.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2013. Peraturan Hidup dalam Islam, Judul Asli: Nizam al-Islam. Jakarta: HTI Press.
Amir, Dinasril. 2012. Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam. Jurnal Al-  Ta’lim: Diakses pada laman: http://download.portalgaruda.org/  pada        tanggal 01 Oktober 2018 11:19.
Amirudin, Noor. 2018. Filsafat Pendidikan Islam: Konteks Kajian Kekinian.           Gresik: Caramedia Communication.
Bartens, K. 2017. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia        Pustaka Utama.
Dalimunthe, Sehat Sultoni. 2018. Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Bangunan      Ilmu Islamic Studies. Yogyakarta: Deepublish.
Echols, John M. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka     Utama.
Hadiwijono, Harun. 1993. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius
Harisah, Afifuddin. 2018. Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar      Pengembangan. Yogyakarta: Deepublish
Hasbi, Muhammad. 2010. Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan     Hubungannya dengan Sains Modern. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri            Watampone: Jurnal Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam, Volume 14        Nomor 3 Tahun 2010.
https://id.wikipedia.org/wiki/Antroposentrisme. dikases pada 05 Oktober 2018.
https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles. diakses pada 25/10/2018 20:24.


Kusumawardani, Endah. 2012. Jurnal Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan:   Plotinus. http//anzdoc.com diakses pada 05 Oktober 2018.
Langgulung, Hasan 2000. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al Husna Zikrah
Muhadjir, Noeng. 1997. Kuliah Teknologi Pendidikan. Yogyakarta: P.Ps. IAIN     Sunan Kalijaga.
Purwoko, Saktiyono B. 2012. Psikologi Islami: Teori dan Penelitian. Bandung:      Saktiyono Wordpress.
Roqib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif   Di Sekolah, Keluarga Dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. LKIS Printing             Cemerlang
Simanjuntak, Bungaran Antonius. 2014. Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan:     Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal. Jakarta: Yayasan Pustaka     Obor Indonesia.
Suryadi, Rudi Ahmad. 2015. Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan     Islam. Yogyakarta: Deepublish.
Weij, Van der. 1998. Filosuf-filosuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens.           Jakarta: Gramedia.
Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.



                [1] K. Bartens, Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), hlm. 8.
                [2] Afifuddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan, (Yogyakarta: Deepublish, April 2018), hlm. 7-8.
                [3] Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 3, November 2012), hlm. 188. Diakses pada laman: http://download.portalgaruda.org/ (01/10/2018 11:19), yang mengutip dari buku Dasar Teori dan Praktis Pendidikan.
                [4] Saktiyono B. Purwoko, Psikologi Islami: Teori dan Penelitian, (Bandung: Saktiyono Wordpress, cet. 2, 2012), hlm. 5.
                [5] Bungaran Antonius Simanjuntak, Korelasi Kebudayaan dan Pendidikan: Membangun Pendidikan Berbasis Budaya Lokal, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 20.
                [6] Rudi Ahmad Suryadi, Dimensi-Dimensi Manusia: Perspektif Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Deepublish, Agustus 2015), hlm. 1.
                [7] Ibid.
                [8] Ibid., hlm. 2.
                [9] Dr. Moh. Roqib, M. Ag, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Pendidikan Integratif Di Sekolah, Keluarga Dan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. LKIS Printing Cemerlang, Cet. I, 2009), hlm. 14.
                [10] Ibid., hlm. 15-16.
                [11] Dr. Mardani, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi., hlm. 19.
                [12] Ibid., hlm. 22
                [13] Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, (Jakarta: Wadi Press, 2002), hlm. 1
                [14] Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A, Filsafat Pendidikan Islam: Sebuah Bangunan Ilmu Islamic Studies, (Yogyakarta: Deepublish, cet. I, 2018), hlm. 5.
                [15] Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terjemahan Haidar Bagir, cet. 7, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 72.
                [16] Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al Husna Zikrah, 2000), hlm. 4.
                [17] Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe, M.A, Filsafat Pendidikan Islam., hlm. 26-28.
                [18] Ibid., hlm. 11.
                [19] Ibid., hlm. 14.
                [20] Muhammad Naquib Al Attas, Konsep Pendidikan Islam., hlm. 35.
                [21] Ibid., hlm. 36.
                [22] Dr. Moh. Roqib, M. Ag, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 20.
                [23] Noeng Muhadjir, Kuliah Teknologi Pendidikan, (Yogyakarta: P.Ps. IAIN Sunan Kalijaga, 1997).
                [24] Dr. Moh. Roqib, M. Ag, Ilmu Pendidikan Islam., hlm. 20.
                [25] Noor Amirudin, Filsafat Pendidikan Islam: Konteks Kajian Kekinian, (Gresik: Caramedia Communication, 2018, cet. 1), hlm. 32.
                [26] Ibid., hlm. 32-33.
                [27] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 72.
                [28] Kata emanasi, dalam bahasa Inggris di sebut emanation yang berarti sebuah proses munculnya sesuatu dari pancaran, bahwa yang dipancarkan substasinya sama dengan yang memancarkan. Lihat: John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 193.
                [29] Muhammad Hasbi, Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan Sains Modern, (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone: Jurnal Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam, Volume 14 Nomor 3 Tahun 2010), hlm. 366.
                [30] Van der Weij, Filosuf-filosuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 19.
                [31] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 41.
                [32] Rudi Ahmad Suryadi, Dimensi-Dimensi Manusia., hlm. 5.
                [33] Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Aristoteles, diakses pada 25/10/2018 20:24.
                [34] Ibid., hlm. 6.
                [35] Antroposentrisme adalah paham bahwa manusia adalah spesies paling pusat dan penting daripada spesies hewan) atau penilaian kenyataan melalui sudut pandang manusia yang eksklusif. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Antroposentrisme, dikases pada 05 Oktober 2018.
                [36] Endah Kusumawardani, Jurnal Kajian Tokoh Filsafat Abad Pertengahan: Plotinus, 2012, hlm. 3-5. Sumber: anzdoc.com dikses pada 05 Oktober 2018.
                [37] Taqiyuddin al-Nabhani, Peraturan Hidup dalam Islam (Judul Asli: Nizam al-Islam), (Jakarta: HTI Press, cet. 11, 2013), hlm. 9-10.
                [38] Afifuddin Harisah, Filsafat Pendidikan Islam Prinsip dan Dasar Pengembangan., hlm. 17.
                [39] Noor Amirudin, Filsafat Pendidikan Islam., hlm. 43.
                [40] Dinasril Amir, Konsep Manusia dalam Sistem Pendidikan Islam., hal. 191-197.
            [41] Ibid., hal. 195-197.
                [42] Ibid., hal. 197-198.

Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

1 komentar:

  1. Wah...
    Apakah ada orang yang kekayaannya memberikan kebahagiaan dari jalan berjudi?

    BalasHapus