Oleh: Rendra Fahrurrozie, S.Pd
Abstrak
Film Jejak Khilâfah di
Nusatara yang pada penayangannya terjadi pro dan kontra, tetaplah akan menjadi
goresan tinta dakwah dalam menyadarkan umat Islam akan jejak Islam yang mulai
dikaburkan dan dikubur dari benak ingatan mereka. Peran pengemban dakwah sangat
penting, meskipun terdapat gangguan dan halangan untuk menyadarkan umat Islam
dari sejarahnya sendiri dalam persatuan dan Ukhuwah Islamiyah di masa lalu dalam
mengusir penjajah. Jejak Khilâfah menjadi penting pula diketahui peranannya
dalam perjuangan dan dakwah umat Islam di Nusantara.
Kata Kunci: JKDN; Khilâfah, Islam, Nusantara
PENDAHULUAN
Suksesnya
film dokumenter Jejak Khilâfah di Nusantara (JKDN)[1]
pada 1 Muharram 1442 H/20 Agustus 2020 M lalu, membuat sebagian masyarakat
mengalami perbincangan yang pro-kontra dalam pemutarannya. Meski saat pemutaran
film tersebut banyak pihak berusaha mencegah tersampaikannya film ini di
tengah-tengah masyarakat dengan beberapa kali penayangan perdananya ini diblokir
pihak YouTube atas permintaan pemerintah.[2]
Jagat
media sosial dan televisi pun ikut membahas film JKDN tersebut dengan beragam
sudut pandang masing-masing, kaidah fikriyah (landasan pemikiran) yang ada pada
masyarakat akan mengemakan satu titik fokus yakni pada kata ‘khilâfah’. Yang menurut Ustadz
Ismail Yusanto pada sesi dialog sebelum acara pemutaran film tersebut dimulai,
bahwa terjadi pengaburan dan penguburan sejarah terutama mengenai Khilâfah. Hal
inilah yang kemudian menjadi perdebatan diskusi para tokoh sejarawan dalam dan
luar negeri serta juga pada masyarakat umum.
Karena
itu, pentingnya kesadaran umat akan Khilâfah yang justru menjadi pintu kebaikan
dakwah dan persatuan menjadi esensi[3]
dari film JKDN ini. Sebab, upaya mendistorsi sejarah dan tsaqâfah
(kebudayaan) Islam terutama yang berhubungan dengan fikih imâmah (hukum pemerintahan
Islam) yakni Khilâfah itu dikaburkan dan dikubur dari benak umat Islam. Inilah pentingnya dakwah
untuk menyadarkan dan mengungkap kebenaran ditengah-tengan umat Islam.
PRO-KONTRA JEJAK KHILÂFAH DI NUSANTARA
Dibalik
pemutaran film JKDN ini, muncul juga sanggahan dari sejarawan sekaligus guru
besar Emeritus Trinity College, Oxford, Peter Carey mengajukan keberatan kepada
tim produksi film Jejak Khilâfah di Nusantara karena mencantumkan namanya tanpa
izin, yang sempat dimintai wawancara untuk menjelaskan tentang Perang
Diponegoro yang telah ditelitinya selama 40 tahun, ia menegaskan kekhalifahan
Turki Utsmani tidak memiliki hubungan dengan Kesultanan Islam di Keraton
Yogyakarta.[4] Ia
menyatakan tidak ada bukti dokumen arsip Turki Utsmani yang menunjukkan adanya
hubungan dengan Kesultanan Demak (1475-1558), tidak pula ada dokumentasi era
Turki Utsmani yang menyatakan mereka memiliki kontak dengan raja pertama
Kesultanan Demak, yakni Raden Patah (bertakhta, 1475–1518) dan juga tidak ada
dokumen sejarah yang menunjukkan panji 'Tunggul Wulung' merupakan bukti
Yogyakarta adalah wakil dari Turki Utsmani di Jawa.
Akan
tetapi penyataan Peter Carey tersebut terpatahkan oleh pidato lengkap Sri
Sultan Hamengkubuwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6
di Yogyakarta pada 12 Februari 2015 yang acara yang ini dihadiri berbagai tokoh
Islam tersebut dibuka Wapres Jusuf Kalla dan ditutup Presiden Jokowi, berikut
ini:[5]
Pada
1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah (sultan Demak pertama) sebagai
Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah
Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman
terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah
berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda
keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.
...
Di
tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilâfah di Jakarta oleh Jamiatul
Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey.
Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa
Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman"
(cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari kongres inilah benih-benih dan
semangat kemerdekaan membara.
Demikian
pula ada sanggah dari sejarawan Indonesia mantan rektor (UIN) Syarif
Hidayatullah, Prof. Azyumardi Azra menyebut bahwa di Nusantara tidak ada jejak Khilâfah.
“Mana ada jejak Khilâfah dengan Indonesia. Abbasiyah itu bukan Khilâfah,
Abbasiyah itu dinasti. Umayyah juga dinasti, Ottoman juga dinasti. Ini terjadi
manipulasi fakta dan diromantiskan saja,” bantah Azyumardi Azra. [6]
Hal ini disanggah langsung oleh sutradata film JKDN Nico Pandawa pada diskusi
dengan Prof. Azyumardi Azra[7]
bahwa kekuasaan apa yang disebut monarki atau dinasti tersebut tetap dapat
disebut sebagai khalifah sebagaimana para ulama seperti Jalaludin Al-Suyûti
yang menulis kitab Tarîkh
Khulafâ, yang
tetap lazim disebut sebagai khâlifah yang tidak hanya menceritakan sebatas Khulafâ
Al-Râsyidîn tetapi hingga sampai ke Abasiyah. Bahkan bukunya Azyumardi Azra
sendiri Jaringan Para Ulama menyebut kekuasaan di Damaskus (Bani Umayyah)
sebagai Khalifah.
Jika melihat jejak masuknya
Islam ke nusantara, terdapat 3 teori mengenai hal tersebut.[8] Pertama,
teori dari Snouck Hurgronje bahwa Islam masuk abad ke 12-13 Masehi melalui
Gujarat India. Kedua, teori Persia bahwa Islam masuk dari tanah Persia
pada abad 13 Masehi, teori ini disanggah oleh teori ketiga. Dan ketiga, teori
Arabia bahwa masuknya Islam ke nusantara sejak pada masa Khulafâ Al-Râsyidîn
di abad ke 7 Masehi. Teori Arabia (ketiga) ini didukung oleh literatur
China yang menyebutkan sudah berdiri perkampungan Arab-Muslim di pesisir
Sumatera dan menikah dengan penduduk lokal pada abad ke 7 masehi. Dan memang
pada tahun 651 M duta Islam pernah datang ke China dalam catatan sejarah China
berjudul Chiu T’ang Shu pada masa Khalifah Utsman bin Affan, duta-duta
Islam tersebut tidak hanya berkunjung ke China saja akan tetapi berkunjung juga
ke Zabaj dan Sribuza yang dikenal dengan Kerajaan Sriwijaya yang ekspedisi
tersebut harus melewati selat Malaka dan singgah ke Sriwijaya.[9]
Memang pada masa Khalifah Utsman
bin Affan terbentuk armada laut pertama yang hingga sampai mem-futuhât
Pulau Siprus tahun 27 H/648 M dengan Muawiyah bin Abu Sufyan
sebagai panglimanya,[10]
sehingga jalur laut pada masa Khulafâ
Al-Râsyidîn sudah
ada dan sampai melakukan perjalanan ke China. Dan pada tahun 674 M pada Khilafâh
Bani Umayyah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatra yang
mengakibatkan banyak pedagang Muslim datang dan berdakwah.[11]
Hal ini semakin kuat dengan terdapatnya
seminar mengenai kedatangan Islam di Nusantara tahun 1969 dan 1978 disimpulkan
bahwa Islam datang langsung dari Arab bukan India, bukan abad ke 12-13 M tapi
pada abad pertama hijriyah atau abad ke 7 Masehi.[12]
Jejak arsip dokumen yang
kaitannya dengan Khilafah Utsmaniyah, inipun ditemukan oleh Farooqi (sejarawan
dari Universitas Allahabad, India) yang menemukan sebuah arsip petisi dari
Sultan Alauddin Riayat Syah kepada Sulaiman Al-Qanuni (Khalifah Utsmaniyyah) yang
mengakui beliau sebagai Khalifah dan mangadukan penjajah Portugis yang
mengganggu jamaah haji dan pedagang Muslim. Dan pada tahun 1566-1574 M Sultan
Salim II anak dari Sulaiman Al-Qanuni melakukan ekspedisi besar dengan
mengirimkan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri (meriam) dengan
Laksamana Kurtoglu Hizir Reis yang menetap di Aceh selama Sultan butuhkan dan
digelari wali Aceh (Gubernur) sebagai utusan resmi Khalifah di Aceh.[13]
JKDN: MENYADARKAN UMAT AKAN KHILÂFAH
Sejarah bukanlah hal yang membosankan, sebab
akan menguak kecemerlangan Islam dan membongkar kebusukan propaganda para
pembenci Islam yang merintangi atau menghalangi keyakinan pengemban dakwah
Islam dalam menyampaian fakta dan kebenaran agar dapat mengentaskan umat Islam
yang haus akan informasi yang bermutu dan terpercaya dalam dominasi sekularisme
kapitalisme, hingga sukses antusias mengajak masyarakat menyaksikan film ini.[14]
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an,
يُرِيدُونَ أَن يُطۡفُِٔواْ
نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَيَأۡبَى ٱللَّهُ إِلَّآ أَن يُتِمَّ نُورَهُۥ
وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٣٢
Artinya: “Mereka
berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. Al-Taubah: 32)
Terkait ayat ini, Al-Imâm Ibn Katsîr dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa orang-orang kafir – yaitu musyrikin dan ahli kitab (Yahudi
dan Nasrani) - ingin memadamkan cahaya (agama) Allah, artinya (ingin
memadamkan) apa yang dibawa utusan Allah, petunjuk dan agama yang hâq ingin mereka padamkan dengan bantahan-bantahan
dan kebohongan-kebohongan mereka. Maka, perumpamaan upaya orang-orang kafir itu
seperti orang yang ingin memadamkan sinar matahari atau cahaya rembulan dengan
cara meniupnya. Ini tidak mungkin.[15]
Melihat tuduhan-tuduhan yang disematkan pada JKDN,
dengan tuduhan berkhayal, berbohong, tidak sesuai fakta dan lainnya. Tidaklah
membuat umat Islam mundur dalam mendakwahkan Islam kaffah ditengah tengah umat,
sebab keyakinan akan pertolongan Allah sebagaimana dalam Al-Qur’an terhadap
orang-orang yang menolong Islam, apalagi saat terdapat pengaburan sejarah dan
upaya penguburan jejak sejarah Islam di negeri ini.
وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن
يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ ٤٠
Artinya:
“Sesungguhnya Allah pasti menolong
orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj : 40).
Menurut Al-Imâm
Al-Thobari, makna dari وَلَيَنصُرَنَّ
ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ, yaitu Allah SWT pasti menolong orang-orang yang berperang di
jalan-Nya agar kalimat-Nya tinggi terhadap musuh-musuh-Nya.[16]
Sehingga penyadaran kepada
masyarakat luas akan jejak Khilâfah di Nusantara merupakan keharusan, sebab
peran dari Khilâfah membantu pengusir penjajah Portugis maupun Belanda dengan
mengirimkan ahli senjata, kapal-kapal perang, serta pengetahuan pemerintahan
(politik) Islam kepada para Sultan oleh para ulama-ulama adalah jelas bahwa khilâfah
pernah mempunyai peran penting dalam perjuangan rakyat nusantara untuk bebas
dari penjajahan.
Kesadaran umat akan jejak Khilâfah
di nusantara adalah hal yang sangat penting, upaya “damnatio memoriae”[17] atau
dihilangkan dari ingatan kolektif dengan mengaburkan dan mengubur sejarah
(jejak) Khilâfah di nusantara itu masih dilakukan penguasa dan pendukungnya
untuk memuluskan proyek deislamisasi berkedok deradikalisi yang terus saja
meraka gaungkan dan terbarkan ketakutan akan ajaran Islam itu layaknya ‘monster’.
Meskipun kedudukan kewajiban
menegakkan Khilâfah bukan didasarkan pada argumentasi sejarah, sebab Khilâfah
wajib didasarkan pada dalil-dalil qaṯ’iy. Akan tetapi sejarah hanya
untuk melakukan penelitian/memperhatikan cara penerapan sebuah aturan, sehingga
bisa diambilkan pelajaran (hikmah). Serta dari sejarah pula kaum muslimin dapat
memahami apakah sebuah peraturan benar-benar dilaksanakan atau tidak dengan
benar. Sehingga dalam kaidah penulisan sejarah Islam Timur dan Barat yang
dilakukan sejarawan Muslim dan Barat jelas berbeda. Karena terdapat perbedaan
kontras dalam memandang kehidupan secara utuh.
PENUTUP
Selayaknya kaum Muslim
khususnya pengemban dakwah meyakini serta memperjuangkan akan kembalinya
Khilafah ‘ala Manhaj Al-Nubuwâh.
Sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Quran.
وَعَدَ
ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ
لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ
وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم
مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡٔٗاۚ
وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٥٥
Artinya:
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (QS.
Al-Nûr:
55).
Janji Allah itu tentunya akan
mendapatkan halangan dengan pengaburan sejarah dan tebaran ketakutan akan ajaran
Islam itu sendiri oleh penguasa zalim atau sejarawan yang tidak menyukai Khilâfah. Oleh karenanya, umat
Islam perlu menulis sejarahnya sendiri dan semakin besar mendakwahkan Islam
secara kaffah, agar penyadaran akan Islam dan tsaqafahnya
(kebudayaannya), kelak menjadi pelajaran oleh generasi di masa yang akan datang
betapa agung dan hebatnya Islam saat diterapkan secara kaffah dan saat mengusir
penjajah dengan gagah berani karena bersatu oleh Ukhuwah Islamiyah yang
kuat.
Wallahu’alam Bishawâb.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonim. 2009. Khilâfah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara,
cet- ke 4. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Gunawan, Indra. 2014. Legenda 4 Umara Besar: Kisah Seni Memimpin
dari Penguasa Empat Dinasti Islam, cet. ke- 1. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Husain, Sarkawi B.
2017. Sejarah Masyarakat Islam Indonesia. Surabaya: Airlangga University
Press.
Sunara, Rahmat. 2009. Sejarah
Islam Nusantara, cet ke-1. Jakarta: Buana Cipta Pustaka.
Website
Achmad, Dedeh Wahidah. 2020. Pelajaran dari Kesuksesan Film
JKdN. Diakses pada laman https://www.muslimahnews.com/2020/08/27/pelajaran-dari-kesuksesan-film-jkdn/,
pada 05 September 2020.
Gunadha, Reza dan Farah Nabilla. 2020. Namanya Dicatut dalam
Film Jejak Khilâfah di Nusantara, Peter Carey Protes. Diakses pada laman https://www.suara.com/news/2020/08/10/153240/namanya-dicatut-dalam-film-jejak-Khilâfah-di-nusantara-peter-carey-protes?page=2,
diakses pada 05 September 2020.
Hidayatuna.com. 2020. Prof. Azyumardi Azra Bantah Ada Jejak Khilâfah
di Nusantara. Diakses pada laman
https://hidayatuna.com/prof-azyumardi-azra-bantah-ada-jejak-Khilâfah-di-nusantara/,
pada 05 September 2020.
KBBI Online. Diakses pada
laman https://kbbi.web.id/esensi. pada 05 September 2020.
Putra, Erik Purnama. 2015. Pidato Sri Sultan tentang Hubungan
Keraton Yogyakarta dengan Islam. Diakses pada laman https://republika.co.id/berita/njmq2o/pidato-sri-sultan-tentang-hubungan-keraton-yogyakarta-dengan-islam,
diakses pada 05 September 2020.
Rahmillah, Kanti. 2020. Pemblokiran
Film JKdN, Wajah Busuk Hipokrisi Demokrasi. Diakses pada laman https://www.muslimahnews.com/2020/09/03/pemblokiran-film-jkdn-wajah-busuk-hipokrisi-demokrasi/,
diakses pada 05 September 2020.
Siregar, Rahmadinda. 2020. Film JKdN, Usaha Menguak “Damnatio
Memoriae” Islam di Nusantara. Diakses pada laman https://www.muslimahnews.com/2020/08/26/film-jkdn-usaha-menguak-damnatio-memoriae-islam-di-nusantara/,
diakses pada 06 September 2020.
TvOne, Channel Youtube Apa Kabar Indonesia. 2020. Sutradara Film
'Jejak Khilâfah di Nusantara' Angkat Bicara Soal Dianggap Propaganda HTI.
Diakses pada link https://youtu.be/L9a_yOy2TcI, diakses pada 05
September 2020.
[1]
Film yang diinisiasi oleh sejarawan bernama Nicko Pandawa bersama Komunitas
Literasi Islam, JKDN ini ditayangkan live di YouTube kanal Khilafah Channel pada
Kamis (20/8) pukul 09.00 WIB.
[2]
Kanti Rahmillah, ‘Pemblokiran Film JKdN, Wajah Busuk Hipokrisi Demokrasi’, 3
September 2020, https://www.muslimahnews.com/2020/09/03/pemblokiran-film-jkdn-wajah-busuk-hipokrisi-demokrasi/,
diakses pada 05 September 2020.
[3]
Esensi artinya hakikat; inti; hal yang pokok. Lihat: https://kbbi.web.id/esensi, diakses
pada 05 September 2020.
[4]
Reza Gunadha dan Farah Nabilla, “Namanya Dicatut dalam Film Jejak Khilafah di
Nusantara, Peter Carey Protes,” 10 Agustus 2020, https://www.suara.com/news/2020/08/10/153240/namanya-dicatut-dalam-film-jejak-khilafah-di-nusantara-peter-carey-protes?page=2,
diakses pada 05 September 2020. Lihat juga: https://www.suara.com/news/2020/08/21/220750/sejarawan-peter-carey-patahkan-klaim-klaim-film-jejak-khilafah-di-nusantara?page=all
[5]
Erik Purnama Putra, “Pidato Sri Sultan tentang Hubungan Keraton Yogyakarta
dengan Islam”, 12 Feb 2015, pada laman https://republika.co.id/berita/njmq2o/pidato-sri-sultan-tentang-hubungan-keraton-yogyakarta-dengan-islam,
diakses pada 05 September 2020.
[6]
Hidayatuna.com, “Prof. Azyumardi Azra Bantah Ada Jejak Khilafah di Nusantara”, diakses
pada laman https://hidayatuna.com/prof-azyumardi-azra-bantah-ada-jejak-khilafah-di-nusantara/,
pada 05 September 2020.
[7]
Channel Youtube Apa Kabar Indonesia tvOne, “Sutradara Film 'Jejak Khilafah di
Nusantara' Angkat Bicara Soal Dianggap Propaganda HTI”, 27 Agustus 2020,
diakses pada link https://youtu.be/L9a_yOy2TcI,
diakses pada 05 September 2020.
[8]
Anonim, Khilafah dan Jejak Islam Kesultanan Islam Nusantara, (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah), 2009, hlm. 6-9.
[9]
Ibid., hlm. 9-10.
[10]
Indra Gunawan, Legenda 4 Umara Besar: Kisah Seni Memimpin dari Penguasa
Empat Dinasti Islam, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo), 2014, hlm.
18-19.
[11]
Rahmat Sunara, Sejarah Islam Nusantara, cet ke-1, (Jakarta: Buana Cipta
Pustaka), 2009, hlm. 1.
[12]
Sarkawi B. Husain, Sejarah Masyarakat Islam Indonesia, (Surabaya:
Airlangga University Press), 2017, hlm. 6.
[13]
Rahmat Sunara, Sejarah Islam Nusantara., hlm. 37-38.
[14]
Dedeh Wahidah Achmad, “Pelajaran dari Kesuksesan Film JKdN”, 27 Agustus 2020,
diakses pada laman https://www.muslimahnews.com/2020/08/27/pelajaran-dari-kesuksesan-film-jkdn/,
pada 05 September 2020.
[15]
Ibid.
[16]
Ibid.
[17]
Tradisi ini dikembangkan dalam masyarakat Romawi untuk menghilangkan semua
jejak hidup orang yang tidak diinginkan dari kehidupan Roma, sehingga rekam
jejak seseorang tidak pernah ada. Lihat: Rahmadinda Siregar, “Film JKdN, Usaha
Menguak “Damnatio Memoriae” Islam di Nusantara”, 26 Agustus 2020, pada laman https://www.muslimahnews.com/2020/08/26/film-jkdn-usaha-menguak-damnatio-memoriae-islam-di-nusantara/,
diakses pada 06 September 2020.
0 komentar: