Jumat, 14 Desember 2018

FASAKH DAN ZHIHAR: PENGERTIAN, PROSEDUR FASAKH DAN ZIHAR, AKIBAT-AKIBAT DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA

Hasil gambar untuk talak

Oleh: Rendra Fahrurrozie
(FIQH MUNAKAHAT)
STIT Sirojul Falah BOGOR

A.    Latar Belakang
Sungguh Allah SWT adalah Zat Yang Maha Adil. Dengan aturanNya (syariah Islam), Dia mampu menyelesaikan seluruh masalah manusia. Khususnya dikarenakan timbulnya naluri melestarikan jenis (gharizah an nau’) yang menjadikan manusia menikah dan berketurunan, maupun adanya kecacatan, aib dan rusaknya dari pernikahan tersebut sehingga harus dipisahkan (talaq) dari pasangan suami istri tersebut. Karna itulah Islam mengatur manusia dalam interaksinya terhadap lawan jenis dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi kezaliman diantara keduanya, jika terlihat ada bahaya (dhoror) didalam perkawinan tersebut meski sudah diikat dengan pernikahan dan memiliki keturunan, Islam akan hadir dengan solusi perceraian yang tentunya ditempuh melalui tahapan dan mekanisme sebelum terjadinya perceraian.
Dalam kajian perceraian (talaq) ini, banyak sebab yang melandasi sepasang suami istri tersebut berpisah. Salah satunya adalah perihal fasakh dan zhihar yang menjadikan pernikahan yang harusnya berketurunan dan melahirkan generasi menjadi bermasalah yang pada akhirnya bercerai (talaq). Fasakh dan Zhihar dalam Islam diatur dalam masalah-masalah yang timbul oleh salah satu pihak yang menginginkan pernikahan tersebut berpisah dengan berbagai macam alasan yang dibenarkan oleh syara’.
Akan tetapi dibalik itu semua, fasakh mungkin menjadi solusi bagi manusia dan zhihar  menjadi batasan untuk berhati-hati dalam berucap dalam pergaulan sehari-hari serta menahan diri dari nafsu amarah pada diri manusia. Karnanya, ini hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam agar kita memahami batasan-batasan syariah dalam berumah tangga maupun akan melangsungkan pernikahan. Sehingga tujuan dari pernikahan dan shilah ukuwah antara umat Islam terus terjalin baik, inilah pentingnya kita bermasyarakat dan beragama yakni bersatu dan tolong menolong dalam kebaikan sesama muslim.

A.    PENGERTIAN FASAKH DAN ZHIHAR
            Secara etimologi (bahasa), fasakh artinya putus atau batal yang berasal dari bahasa arab  فسخ - يفسح - فسخا  yang berarti batal atau rusak.[1] Atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan.[2] Fasakh dalam arti terminologi (Istilah), menurut Sayyid Sabiq:
فساخ العقد: نقضه، و حال الرابطة التي تربط بين الزوجين
Memfasakh adalah membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara kami suami isteri.[3]
Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan hubungan pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan pernikahan.[4] Sehingga dalam fasakh tidak melalui tahapan-tahapan talaq, seperti talaq satu, dua ataupun tiga.[5]

Timbulnya permintaan fasakh ini, berbagaimacam alasan yang diperbolehkan syara’ untuk mengajukan pembatalan pernikahan. Misalnya, karena antara suami istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami tidak dapat memberi belanja/nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya. Begitu pula disebabkan oleh adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan yang disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35.


Alasan ini dikarenakan seorang atau kedua suami/isteri merasa dirugikan oleh pihak itu dalam perkawinannya, juga karena tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai seorang suami atau sebagai seorang isteri. Dan apa bila dilanjutkan pernikahannya, keadaan kehidupan rumah tangga diduga akan bertambah buruk dan pihak yang dirugikan bertambah buruk keadaannya.
Allah SWT berfirman di dalam Al Qur’an.
وَإِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَبَلَغۡنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمۡسِكُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعۡرُوفٖۚ وَلَا تُمۡسِكُوهُنَّ ضِرَارٗا لِّتَعۡتَدُواْۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ وَلَا تَتَّخِذُوٓاْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ هُزُوٗاۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيۡكُم مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَٱلۡحِكۡمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ ٢٣١
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S Al Baqarah [2]: 231)
            Ayat ini menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami isteri terjadi keadaan sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita mudharat dapat mengambil keputusan untuk memutuskan perkawinan, kemudian hakim memfasakh perkawinan atau dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut dikarenakan syiqaq, atau pertengkaran diantara suami dan istri sehingga bercerai yang sebelumnya didatangkan 2 orang hakim dari kedua belah pihak (hakamain) untuk memberikan keputusan masalah pernikahan ini.. Ini adalah salah satu sebab yang dapat menjadi alasan fasakh pernikahan. Sehingga akan menjadi lebih mendalam apabila dijelaskan pada penjelasan prosedur fasakh selanjutnya.
            Adapun mengenai zhihar, secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab الظھار dari kata ظهر yang bermakna punggung. Adapun pengertian zhihar secara istilah syariah (terminologi) adalah apabila seorang suami menyamakan isterinya dengan seorang wanita yang haram dinikahi olehnya selama-lamanya, atau menyamakannya dengan bagian-bagian tubuh yang diharamkan untuk dilihatnya, seperti punggung, perut, paha dan lainnya.[6] Dengan ucapan:
أنت علي كظھر أمي
“engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.
Ucapan Zhihar ini pada masa Jahiliyah dipergunakan oleh suami yang bermaksud mengharamkan menyetubuhi istri (jima’) dan berakibat menjadi haramnya istri itu bagi suami dan laki-laki selainnya untuk selama-lamanya. Dan pada masa awalan datangnya Islam, hukum zhihar tersebut tetap berlaku dikalangan kaum muslimin, hingga Allah SWT menurunkan Q.S Al- Mujadilah ayat 1-4 ketika peristiwa Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar oleh suaminya. Allah SWT berfirman.
قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١ ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ ٢ وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ ٣ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (1) Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (2) Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (3) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih (4). [Q.S Al Mujadilah (58): 1-4]
            Sebab turun ayat Zhihar ini ialah kasus permasalahan wanita yang bernama Khaulah binti Tsa’labah yang di Zhihar oleh suaminya Aus bin Shomit yaitu dengan mengatakan kepada istrinya : “kamu bagiku sudah seperti punggung ibuku”, dengan maksud ia tidak boleh menggauli istrinya sebagaimana tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah, kalimat zhihar seperti itu sudah sama mentalaq istri. Kemudian Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasululllah dan beliau menjawab bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah SWT. Pada riwayat lain beliau mengatakan : “engkau telah diharamkan bersetubuh dengannya”. Lalu Khaulah berkata: “suamiku belum menyebut kata-kata talak”. Berulang kali Khaulah mendesak kapada Rasululllah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat Q.S Al Mujadilah ini.[7]
B.     PROSEDUR FASAKH DAN ZHIHAR           
            Jika kita telaah kembali, fasakh dan zhihar mempunyai prosedur[8] dalam masalah pernikanan ini. Yang artinya di dalam prosedur tersebut masing-masing terdapat sebab, syarat, rukun dan hukum syara’ terhadap fasakh atau zhihar itu.
Sebab-Sebab Fasakh
            Fasakh bisa terjadi karena 3 hal: Pertama, tidak terpenuhi syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah atau; Kedua, karena hal-hal lain yang datang kemudian dan; Ketiga, karena membatalkan kelangsungan perkawinan.[9]
a)    Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
a)      Apabila akad sudah sempurna dan selesai, kemudian diketahui bahwa sang istri yang dinikahinya ternyata haram dinikahi, misal saudara susuannya, maka akadnya harus difasakh.
b)      Suami-istri masih kecil, dan diakad nikahkan oleh selain ayahnya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya dahulu atau mengakhirinya. Khiyar ini dinamakan khiyar al bulugh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh.
b)   Fasakh yang datang setelah akad nikah.[10]
a)      Jika salah satu pasangan murtad dari Islam, dan tidak kembali pada Islam, maka akad nikahnya otomatis fasakh, tanpa menunggu keputusan hakim.
b)      Jika isteri masuk Islam, sedangkan sauminya masih kafir (baik Ahli Kitab maupun Musyrik), maka akad nikahnya juga otomatis fasakh, tanpa menunggu keputusan hakim. Tetapi, jika suaminya masuk Islam, sedangkan isterinya tetap kafir, harus dilihat: Jika kafirnya ahli kitab, maka akad nikahnya tetap sah. Tetapi, jika kafirnya musyrik, maka akadnya otomasi batal. Dalam hal ini, menurut Sayyid Sabiq, menunggu keputusan hakim, karena boleh jadi isterinya tidak mau berpisah (Fiqh Sunnah).
c)    Fasakh disebabkan karena membatalkan kelangsungan pernikahan dan harus menunggu keputusan hakim.
a)      Syiqaq yaitu adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan.
b)      Jika kedua pihak saling ber-li’an.
c)      Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya sehingga tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian, tempat tinggal maupun maharnya belum dibayarkan sebelum dhukhul.
d)     Jika istri disetubuhi oleh ayah atau kakeknya karena faktor ketidaksengajaan maupun menzinahinya.[11]
e)      Pernikahan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya (sekufu). Misalnya pernikahan budak dengan merdeka, penzina dengan orang terpelihara dan sebagainya.
f)       Terjadinya penipuan diantara keduanya.
g)      Salah satunya mengidap penyakit berbahaya.
            Dalam fasakh, memang ada yang otomatis bisa dibatalkan pernikahnnya, dan ada yang memerlukan persetujuan hakim. Karena menurut ijma' ulama, fasakh sebagai tuntutan perpisahan yang disebabkan adanya aib, harus melalui keputusan hakim dan laporan dari orang yang berpihak pada kemaslahatan, karena perpisahan tersebut merupakan permasalahan yang memerlukan ijtihad dan masih dipertentangkan oleh kalangan fuqaha, sehingga membutuhkan keputusan hakim untuk menghilangkan perbedaan. Selain itu juga disebabkan karena pasangan suami istri itu telah berselisih mengenai tuduhan ada dan tidaknya cacat/aib yang dituduhkan tersebut, dan berselisih mengenai apaakah kenyataan dari cacat-cacat tersebut dapat menyebabkan fasakh atau tidak.[12]
Hukum Syariah Terhadap Fasakh
            Syariah membolehkan fasakh pernikahan. Bagi seorang istri yang mukallaf (balligh dan berakal) kepada suaminya yang kesulitan nafkah dan kebutuhan hidup lainnya.  Juga karena suami tidak mampu membayar mahar secara kontan atau sebagian sebelum menjima’ istri.
            Dan fasakh tidak bisa dilakukan setelah istri dijima’, dan bagi istri yang masih kecil (belum baligh) walaupun sudah dijima’ boleh memfasakh suaminya jika istri telah beranjak dewasa (baligh). Tapi jika istri telah menerima sebagian mahar, maka istri tidak boleh memfasakh. Dan yang perlu diperhatikan, bahwa ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah dapat dibuktikan jika tidak adanya harta suami dalam jangka waktu tiga hari.
Syarat-Syarat Zhihar
            Adapun mengenai Zhihar, mempunyai syarat dan rukun di dalamnya sehingga perbuatan ini menjadikan pernikahan tersebut menjadi bermasalah. Syarat-syarat  zhihar menurut ulama madzhab Syafi’i adalah:
1.      Syarat Muzhahir atau pelaku zhihar, adalah:
Suami, berakal sehat (tidak gila); kehendak sendiri (tidak terpaksa).
2.      Syarat Muzhahar minha atau perempuan yang dizhihar. adalah istri.
3.      Syarat Musyabbah bih (sosok yang dijadikan penyerupaan).
a)      Harus perempuan.
b)      Harus perempuan mahram yang tidak halal dinikah karena
nasab seperti ibu, anak permepuan, atau karena sesusuan
.
c)      Wanita itu tidak halal sebelumnya. Seperti perempuan yang
dinikah oleh ayahnya sebelum atau bersamaan dengan
kelahirannya.
4.      Syarat Sighat (lafaz) adalah harus berupa kata atau kalimat
yang mengandung arti z
hihar. Ada 2 macam, yakni:
a)      Zhihar sharih (ekplisit/jelas) yaitu kalimat yang sudah umum
diketahui dipakai untuk arti zhihar seperti "kamu bagiku
bagikan punggung ibuku"
atau "kepalamu bagiku seperti
punggung ibuku"
atau "... seperti tangan ibuku".
b)      Zihar kinayah (implisit/kiasan/implisit) yaitu kalimat yang tidak umum dipakai untuk zhihar. Seperti "Engkau seperti ibuku" atau "Engkau seperti mata ibuku" dan kalimat lain yang bisa dipakai untuk zhihar dan memuji. Zihar kinayah tidak terjadi kecuali dengan niat.
Rukun Zhihar
            Rukun zhihar ada 4 (empat) yaitu: (a) muzhahir (pelaku zihar) yaitu suami; (b) muzhahar minha (yang dizhihar) yaitu istri; (c) musyabbah bih (orang yang dijadikan penyerupaan) yaitu wanita mahram; (d) shighat atau lafal (lafaz) atau kalimat zhihar.
Perbedaan dan Persamaan Antara Zhihar dan Talaq
            Perbedaan diantara keduanya adalah: orang laki-laki dizaman jahiliah berkata kepada istrinya: kamu seperti punggung ibuku. Dengan kata-kata itu wanita menjadi tertalaq. Akan tetapi dalam Islam tidak sampai pada talaq, hanya menjadikan suami haram bagi istrinya hingga ia membayar kafarat (tebusan).
            Persamaan zhihar dengan talaq: adalah masing-masing menghilangkan kehalalan istri bagi suaminya untuk melakukan hubungan badan. Hanya saja perbedaan zhihar tidak dianggap talaq dan tidak terhitung dalam jumlah bilangan talaq. Sedangkan zhihar bisa ditebus dengan kafarat yang telah ditetapkan.
C.    AKIBAT-AKIBAT FASAKH DAN ZHIHAR
Akibat Hukum dari Fasakh Pernikahan
            Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya pernikahan secara fasakh adalah:[13]
1.      Suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini berstatus ba’in sughra.[14]
2.      Apabila keduanya berkeinginan untuk melanjutkan pernikahan kembali, mereka harus melakukan akad nikah yang baru, baik dalam waktu mantan istri sedang dalam masa iddah maupun setelahnya.
3.      Akibat yang lain dari fasakh itu adalah tidak mengurangi bilangan thalaq. Hal ini menunjukkan bahwa hak si suami untuk men-thalaq istrinya maksimal adalah tiga kali, maka tidaklah berkurang dengan adanya fasakh. Dalam bahasa sederhana, fasakh boleh terjadi bekali-kali tanpa batas.
Pada dasarnya fasakh itu dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun adakalanya fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim, seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.
Akibat Hukum dari Zhihar
            Zhihar adalah haram dan berdosa, walaupun tidak berarti bahwa telah terjadi perceraian antara kedua suami istri tersebut. Perbuatan ini harus dijauhi oleh suami. Bagi yang terlanjur melakukannya, maka ada akbibat yang timbul setelahnya, yaitu:
a)      Selama suami belum membayar kaffarat zhiharnya, selama itu pula istrinya itu haram dicampurinya.
b)      Suami wajib memenuhi kafarat zhihar, yakni ada tiga macam yaitu:
1)      Memerdekakan budak (hamba sahaya) kalau ada dan mampu; atau
2)      Puasa dua bulan berturut-turut tanpa putus satu hari pun kalau mampu; atau[15]
3)      Memberi makan 60 (enampuluh) orang miskin.
c)      Ditetapkan waktu menunggu bagi istri yaitu selama empat bulan dengan dasar mengqiyaskan waktu menunggu zhihar kepada waktu menunggu illa’.[16]
D.    PENYELESAIAN HUKUM FASAKH DAN ZHIHAR
Penyelesaian Hukum Fasakh
            Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerlukan muhalli (orang yang menghalalkan), baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
            Dalam penyelesaian proses penyelesaian masalah fasakh yang harus diselesaikan pada hakim, terdapat persyaratan persyaratan tertentu yaitu:
1.      Mengajukan perkara kepada hakim atau pengadilan.
2.      Keadaan suami sudah mukallaf.
3.      Pihak istri keberatan dengan keadaan cacat/aib suaminya, demikian pula pihak suami merasa keberatan terhadap aib/cacat istri.
Penyelesaian Hukum Zhihar
            Adapun penyelesaian hukum pada zhihar, ada beberapa kondisi.
1.      Suami harus memenuhi kafarat (tebusan) yang telah dijelaskan Asy Syari’ dengan tidak terjadinya talaq. Penyelesaian zhihar oleh suami dengan batasan 4 bulan dengan pengqiyasan pada kasus ila’ sebagaimana telah disebutkan diatas. Sehingga istri tidak mengantung statusnya karna pengharaman jima’.
2.      Jika suami berpendapat bahwa jika memperbaiki kembali hubungan dengan istrinya tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya bercerai itu jalan yang terbaik, maka hendaklah suami menjatuhkan talaq kepada istrinya.
3.      Tetapi apabila suami tidak mencabut kembali zhiharnya, dan tidak pula menceraikan istrinya, maka setelah berlalu masa empat bulan sejak diucapkan zhihar, maka hakim menceraikan antara keduanya sebagai talaq ba’in.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet. 1989. Fikih Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia.
Alislamu.com, Apa itu Fasakh Dalam Pernikahan,   (https://www.alislamu.com/9722/apa-itu-fasakh-dalam-pernikahan/),   diakses pada 14 Desember 2018. Yang sumber rujukannya dari Fiqh Sunnah          dan Al Mughni (Ibnu Qudamah).
Asy Syafie. 2007. Ringkasan Kitab Al Umm. Jakarta: Pustaka Azzam.
Az Zuhaily, Wahbah. Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX.
Depag RI 1992/1993. Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta: Arda Utama.
Muchtar, Kamal. 1993. Asas – Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan. Jakarta :      Bulan Bintang.
Mughniyah,  Muhammad Jawad, Masykur AB dkk (penerjemah). 2011.  Fiqih Lima          Mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Al Fiqh ‘ala al Madzahib    al Khamsah, cet. ke 27. Jakarta: Lentera.
Munawir, Ahmad Warso. 1996. Kamus Indonesia – Arab. Jakarta: Pustaka Progresif.
Sabiq, Sayyid. 1992.  Fiqih As-Sunnah, jilid 2. Beirut: Dar Al-Fikr.
Said, Fuad. 1994. Perceraian Menurut Hukum Islam. Jakarta; Pustaka Al Husna,   1994
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana.
Uwaidah, Kamil Muhammad. 1998. Fiqih Wanita. Jakarta : Pustaka Kauthar.



                [1] Ahmad Warson Munawir, Kamus Indonesia – Arab, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1996, cet. Ke-I), hlm. 92.
                [2] Kamal Muchtar, Asas – Asas Hukum Islam Tentang Perkahwinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993), hlm. 212.
                [3] Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, jilid2, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992), hlm. 268.
                [4] Depag RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: Arda Utama, 1992/1993), hlm. 282.
                [5] Lihat buku: Imam Syafie, Ringkasan Kitab Al Umm, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), cet. 3, jilid 2, hlm. 481.
                [6] Prof. DR. Wahbah Az Zuhaily, al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX,  hal 7124.
                [7] Lihat kisah ini dibuku: Muhammad Jawad Mughniyah, Masykur AB dkk (penerjemah), Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Al Fiqh ‘ala al Madzahib al Khamsah, cet. ke 27, (Jakarta: Lentera, 2011), hlm. 289-290.
                [8] Prosedur adalah tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas; atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah;
                [9] Slamet Abidin, Fikih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1989), cet. I, hlm. 73
                [10] Alislamu.com, Apa itu Fasakh Dalam Pernikahan, (https://www.alislamu.com/9722/apa-itu-fasakh-dalam-pernikahan/), diakses pada 14 Desember 2018. Yang sumber rujukannya dari Fiqh Sunnah dan Al Mughni (Ibnu Qudamah).
                [11] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta : Pustaka Kauthar, 1998), cet. 1, hlm. 434.
                [12] Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta; Pustaka AlHusna, 1994), Cet. Ke-1, hlm. 125.
                [13] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 135.
                [14] Talaq ba'in sughra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya (talak 1 dan 2) yang telah habis masa iddahnya. suami boleh rujuk lagi dengan istrinya, tetapi dengan aqad dan mahar yang baru.
                [15] Menurut madzhab Syafi'i seorang dianggap tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut apabila memenuhi salah satu dari empat syarat yaitu: (a) menderita sakit yang menurut dokter akan terjadi selama dua bulan atau menurut kebiasaannya, apalagi kalau sakit parah yang sulit sembuh; (b) dikuatirkan sakitnya tambah parah karena puasa; (c) mengalami kesulitan berat kalau harus puasa selama 60 hari dalam arti tidak mampu menanggungnya; (d) memiliki kelemahan tertentu seperti tidak bisa menahan diri untuk melakukan hubungan intim selama masa puasa. Apabila demikian, maka kafarat pindah ke yang ketiga yaitu memberi makan 60 orang miskin.
                [16] Lihat Q.S Al- Baqarah: 226-227; ila’ adalah ‘sumpah  suami  tidak akan  mencampuri  istrinya  dalam masa yang lebih  dari 4 bulan  atau  dengan  tidak  menyebutkan  jangka  waktunya.

Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: