Rendra Fahrurrozie, S.Pd
MES Institut Tazkia | NIM: 2020405016
2005.rendra.016@student.tazkia.ac.id
Dalam
ilmu ekonomi konvensional manusia ekonomi rasional (rational economic man) mendapat
perhatian serius oleh pakar ekonomi, bahwa perilaku individu adalah pasti
rasional. “Manusia tidak boleh terhambat oleh hasratnya”, kata Adam Smith dalam
bukunya The Theory of Moral Sentiment. Sehingga menurutnya, muncul dalam
manusia itu kepuasan (konsumsi) dan keuntungan (produksi) atau juga dinamakan
kebutuhan (need) dan keinginan (want). Maka lahirlah perilaku
manusia yang menjadikan rasionalitasnya untuk memenuhi kepuasan pribadinya.
A. DEFINISI RASIONALITAS
Menurut Raliby (1982), rasionalitas secara bahasa berasal dari ratio (latin) berarti akal budi atau pikiran sehat. Adapun rasional mengandung pengertian mengenai keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Proses rasionalitas disebut dengan rationalization (rasionalisasi) yang mengandung makna to find motives for conduct which are plausible (pencarian motif tindakan yang masuk akal).[1]
Rasionalisme berseberangan dengan Empirisme (Sensasionalisme). Rasionalisme condong berpendapat bahwa kebenaran dapat dicapai dengan jalan berpikir dan menarik kesimpulan dengan akal dari hal yang sudah tentu yang diajukan lebih dulu. Sementara Empirisme menyatakan bahwa satu- satunya sumber pengetahuan adalah kesadaran panca indera dan satu-satunya percobaan pengetahuan adalah pengalaman.[2]
Pada konsep rasionalitas, tujuan atau motif individu yang diambil oleh pelaku itu mengabaikan kritik dan etika. Sederhananya rasionalitas merujuk pada kesuksesan meraih tujuan apapun. Sehingga rasionalitas identik dengan perilaku yang digerakkan oleh self-interest yang mengarah pada perilaku selfish (egois atau mementingkan diri sendiri).
B. KONSEP RASIONALITAS EKONOMI
Menurut ilmu ekonomi konvensional, paham rational economics man, tindakan individu rasional adalah tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memikirkan hari akhirat.
Maka Adam Smith menyatakan bahwa, tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena invisible hand bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[3]
Menurut Syed
Omar Syed Agil kriteria individu yang dianggap rasional, apabila:[4]
1. Mereka
tahu apa yang mereka mau sesuai dengan skala prioritas kemauan dan bersikap konsisten
(individu andaikan mempunyai informasi lengkap).
2.
Semua
informasi dan cara didinilai dengan berdasarkan pada logika akal.
3.
Tujuan
dan cara bisa dinilai dengan uang.
4. Dalam
produksi, mereka hanya melihat aspek kemahiran tanpa memandang nilai-nilai
moral dan agama yang tidak dapat dinilai dalam bentuk uang.
5. Perilaku
seseorang yang mementingkan kepuasan diri sendiri akan membawa kebaikan kepada
masyarakat.
6. Pilihan
dibuat selaras dengan pilihan yang diprediksi dibuat oleh masyarakat. Dianggap
rasional sekiranya pilihan yang dibuat bersesuaian dengan kehendak masyarakat.
Bentuk-bentuk manusia ekonomi rasional menurut Syed Omar Syed Agil,
adalah:
1. Egoistic
Rationality, bahwa setiap
individu digerakkan oleh kepentingan diri sendiri (self interest), yakni
produsen akan memaksimalkan keuntungan dan konsumen memaksimalkan kepuasan.
2. Bounded
Rationality, yakni apabila
ketidak mampuan individu dalam memenuhi kepuasan pribadinya atau informasi
lengkap mengenai kepuasannya maka akan dapat menjadikan individu tidak optimal
dalam pilihannya.
3. Altruism,
yakni sarana untuk memberikan kepuasan dalam diri sendiri dengan
memuaskan orang lain dengan perbuatan baik. Baik untuk membangun reputasi
pribadi dengan maksud menaikkan keuntungan ditengah masyarakat, yang banyak
dilakukan perusahaan dengan tanggung jawab sosialnya untuk meningkatkan image
yang baik dalam rangka memaksimalkan keuntungan penjualan.[5]
C.
RASIONALITAS EKONOMI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Dalam ekonomi kapitalisme, Umar Chapra menjelaskan bahwa kapitalis
akan menjurus kepada kebebasan individu yang tidak terbatasi untuk memenuhi
kepentingan pribadi, kepemilikan, dan pengelolaan privat; ekspansi kekayaan
yang dipercepat dan produksi maksimum serta pemenuhan kebutuhan menurut
preferensi individual; dan lebih mengutamakan kekuatan- kekuatan pasar dalam
lokasi dan distribusi sumber-sumber daya dan meminimalkan peran pemerintah atau
penilaian kolektif (Chapra, 2000).[6]
Maka, akan berkuasanya kaum kapital (pemilik modal) dengan bebasnya mereka
dalam investasinya yang tiada batasnya.
Sehingga dalam kapitalisme, kebutuhan manusia adalah kebutuhan
materi (fisik), sedangkan kebutuhan emosional dan spiritual tidak diakui atau
dibahas. Individu memuaskan dirinya dengan alat pemuas, yakni barang dan jasa
yang berbentuk materi dengan di produksi, dikonsumsi dan didistribusikan. Maka
kebutuhan (needs) identik dengan keinginan (wants), nilai kegunaan
(utility value) menjadi faktor penentu untuk produksi, konsumsi, dan
distribusi barang-jasa itu, sedangkan konsep halal-haram, mashlahah-mudharat
tidak menjadi acuan.[7]
Adapun dalam sosialisme, setidaknya ada 2 (dua) hal yang
menyebabkan ekonomi ini lemah, yakni:[8]
1. Seluruh
bentuk produksi dan sumber pendapatan menjadi milik negara dan diatur kemudian
lewat negara, dipergunakan untuk seluruh rakyat.
Rakyat
tidak mempunyai hak untuk memiliki harta kecuali harta-harta tertentu yang
telah ditetapkan oleh negara. Motivasi masyarakat untuk bekerja tidak
didasarkan atas nilai kepemilikan yang ia akan dapatkan kelak setelah bekerja
tetapi lebih dikarenakan adanya aturan yang ketat atas apa yang harus mereka
kerjakan. Tetapi, bukan berarti rakyat tidak mendapatkan hasil dari pekerjaannya.
Rakyat mendapatkan hasilnya melalui pembagian yang rata yang dilakukan negara.
2. Kesamaan
dalam memenuhi kebutuhan ekonominya didasarkan atas asumsi bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan.
Sehingga potensi yang berkembang dikarenakan latar belakang kemampuan alami kurang mendapat perhatian oleh negara. Keadaan ini menjerumuskan pada kehidupan masyarakat yang beku dan tidak ada dinamika, karena apresiasi hidup manusia terbelenggu oleh berbagai aturan negara yang lebih dipengaruhi oleh perspektif baku tentang masalah kemasyarakatan.
Melihat bebasnya rasionalitas ekonomi individu dalam memuaskan dirinya dalam ekonomi kapitalis, dan bekunya rasionalitas ekonomi individu dalam memuaskan kebutuhan dan keinginnanya dalam sosialis. Islam hadir dengan ekonominya yang khas.
Islam
berpandangan bahwa manusia adalah pemakmur bumi (khalifah), dengan petunjuk dari
Allah SWT melalui Rasulullah ﷺ baik perkara akidah,
ibadah, akhlak, mu’amalah, dan uqubât (hukum) yang
ditemukan di Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam Islam, tujuan konsumsi adalah
memaksimalkan maslahah, yakni mendatangkan segala bentuk kemanfaatan
atau menolak segala kemungkinan yang merusak.[9]
Rasionalitas dalam ekonomi Islam dibangun berdasar dari nilai dan
ajaran Islam, yakni:[10]
1. Setiap
pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah. Maslahah sangat erat
kaitannya dengan maqashid syariah yang mengandung lima tujuan utama, (1)
maslahah agama, (2) maslahah jiwa, (3) maslahah akal, (4) maslahah keturunan,
dan (5) maslahah kekayaan.
2.
Setiap
pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran (non-
wasting).
3. Setiap
pelaku ekonomi akan berhubungan dengan resiko, yang mengandung 3 tindakan,
yaitu (1) selalu berusaha untuk meminimumkan resiko, (2) berhadapan dengan
resiko ketidakpastian, dan (3) melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan
resiko.
Batasan terhadap rasionalitas ekonomi Islam, dalam beberapa konsep
menurut Monzer Kahf, yakni: [11]
1.
Konsep
kesuksesan
Islam
membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui
tindakantindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan
materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan
dari Allah SWT.
2.
Konsep
kekayaan
Kekayaan
dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu
untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan
konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap
pencapaian mereka di dunia.
3.
Konsep
barang
Konsep
barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam Al-Quran
dinyatakan dua bentuk barang yaitu, al-tayyibat[12]
(barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq[13]
(pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal
dan haram.
4.
Konsep
etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk tarf[14] (berfoya-foya) dan tabzir[15] (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi, riba dan lainnya, maupun tindakan taqtir[16] (kikir) terhadap dirinya sendiri pula pada sesama serta Allah SWT.
Kepuasan optimal dapat diketahui dari perintah (hadits) Nabi ﷺ, yaitu untuk berhenti makan sebelum kenyang. Hal ini apabila muslim melakukan kepuasan yang halal, apabila masih dalam area wajib/sunnah, dan harus berhati-hati dalam kepuasan optimal pada area mubah/makruh, serta apabila masuk pada kepuasan maksimum akan masuk pada keharaman dengan terus menerus menambah barang yang dimakannya (melampaui batas).[17]
Jadi, sarana
untuk memuaskan pribadi adalah hal lain sedangkan pemanfaatannya adalah hal
lain juga dalam Islam (dipisahkan, ada konsep Islam dikeduanya), dan tujuan
(rasionalitas) Islam, bukan hanya meningkatkan taraf kehidupan negara saja,
tetapi menjamin kemakmuran setiap individu dengan dibatasi cara perolehan dan
pemanfaatannya barang-jasa dengan aturan Allah SWT dalam memenuhi kebutuhan
(needs), atau memuaskan keinginan (wants).[18]
D. KESIMPULAN
Dalam ilmu ekonomi konvensional manusia ekonomi rasional (rational economic man) mendapat perhatian serius oleh pakar ekonomi, bahwa perilaku individu adalah pasti rasional. Secara bahasa, rasional berasal dari ratio (latin) berarti akal budi atau pikiran sehat. Secara istilah yakni mengenai keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Proses rasionalitas disebut dengan rationalization (rasionalisasi) yang mengandung makna to find motives for conduct which are plausible (pencarian motif tindakan yang masuk akal).
Tindakan individu rasional adalah tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memikirkan hari akhirat. Bentuk tindakan rasionalitas setidaknya 3 (tiga) macam; (1) Egoistic Rationality; (2) Bounded Rationality; dan (3) Altruism. Yang ketiganya merupakan bentuk pemuasan pribadi dari manusia ekonomi.
Berbeda dengan Islam, yang mempunyai tujuan dari konsumsi individu adalah mencari mashlahah. Yang mashlahah tersebut bermuara pada maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah), agar konsep kesuksesan, konsep kekayaan, konsep barang, dan konsep etika konsumen yang masing-masingnya tidak melampaui batas, singga dapat menjerumuskan pada keharaman.
F. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Hafidz, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, ed. by
Maghfur Wachid, cet. ke-2 (Bogor: Al Azhar Press, 2014)
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta:
HTI Press, 2015)
Gunawijaya, Rahmat, ‘Kebutuhan Manusia Dalam Pandangan
Ekonomi Kapitalis Dan Ekonomi Islam’, Al-Maslahah, 13.1 (2017), 131–50
Isfandiar, Ali Amin, ‘Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi
Berbasis Islamic Ethics’, Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah,
6.2 (2015), 23 <https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41>
Kholis, Nur, ‘Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi
Konvensional Dan Alternatifnya Menurut Pandangan Ekonomi Islam’, Researchgate,
2009, 1–23
Ngasifudin, Muhammad, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam’, JESI
(Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia), 7.2 (2018), 111–19
<https://doi.org/10.21927/jesi.2017.7(2).111-119>
[1] Ali Amin Isfandiar, ‘Melacak Teori Rasionalitas
Ekonomi Berbasis Islamic Ethics’, Muqtasid:
Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 6.2 (2015), 23
<https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41>, hlm. 26-27.
[2] Ibid.
[3] Nur Kholis, ‘Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif
Ekonomi Konvensional Dan Alternatifnya Menurut Pandangan Ekonomi Islam’, Researchgate, 2009, 1–23, hlm. 4.
[4] Ibid., hlm.
6.
[5] Ibid,
hlm. 8.
[6] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi
Islam’, JESI (Jurnal Ekonomi Syariah
Indonesia), 7.2 (2018), 111–19
<https://doi.org/10.21927/jesi.2017.7(2).111-119>, hlm. 115.
[7] Hafidz Abdurrahman, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, ed. by Maghfur Wachid, cet. ke-2
(Bogor: Al Azhar Press, 2014), hlm. 34-35.
[8] Ibid., hlm.
115-116.
[9] Rahmat Gunawijaya, ‘Kebutuhan Manusia Dalam Pandangan
Ekonomi Kapitalis Dan Ekonomi Islam’, Al-Maslahah,
13.1 (2017), 131–50, hlm. 138-139.
[10] Ali Amin Isfandiar, ‘Melacak Teori Rasionalitas
Ekonomi., hlm. 39.
[11] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam.,
hlm. 116-117.
[12] QS. Al-Maidah:
88; QS. Thoha: 81.
[13] QS. Al-A’raf:
32.
[14] QS.
Al-Waqi’ah:41-45; QS. Al-Mu’minun: 64.
[15] QS. Al-Isra’:
26-27.
[16] QS. Al-Isra’:
29.
[17] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam.,
hlm. 118.
[18] Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: HTI Press, 2015), hlm. 66-70.
0 komentar: