Sabtu, 24 Oktober 2020

Manusia Ekonomi Rasional Dalam Tinjauan Ekonomi Islam

 


Rendra Fahrurrozie, S.Pd

MES Institut Tazkia | NIM: 2020405016

2005.rendra.016@student.tazkia.ac.id

 

Dalam ilmu ekonomi konvensional manusia ekonomi rasional (rational economic man) mendapat perhatian serius oleh pakar ekonomi, bahwa perilaku individu adalah pasti rasional. “Manusia tidak boleh terhambat oleh hasratnya”, kata Adam Smith dalam bukunya The Theory of Moral Sentiment. Sehingga menurutnya, muncul dalam manusia itu kepuasan (konsumsi) dan keuntungan (produksi) atau juga dinamakan kebutuhan (need) dan keinginan (want). Maka lahirlah perilaku manusia yang menjadikan rasionalitasnya untuk memenuhi kepuasan pribadinya.

A.    DEFINISI RASIONALITAS

Menurut Raliby (1982), rasionalitas secara bahasa berasal dari ratio (latin) berarti akal budi atau pikiran sehat. Adapun rasional mengandung pengertian mengenai keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Proses rasionalitas disebut dengan rationalization (rasionalisasi) yang mengandung makna to find motives for conduct which are plausible (pencarian motif tindakan yang masuk akal).[1]

Rasionalisme berseberangan dengan Empirisme (Sensasionalisme). Rasionalisme condong berpendapat bahwa kebenaran dapat dicapai dengan jalan berpikir dan menarik kesimpulan dengan akal dari hal yang sudah tentu yang diajukan lebih dulu. Sementara Empirisme menyatakan bahwa satu- satunya sumber pengetahuan adalah kesadaran panca indera dan satu-satunya percobaan pengetahuan adalah pengalaman.[2]

Pada konsep rasionalitas, tujuan atau motif individu yang diambil oleh pelaku itu mengabaikan kritik dan etika. Sederhananya rasionalitas merujuk pada kesuksesan meraih tujuan apapun. Sehingga rasionalitas identik dengan perilaku yang digerakkan oleh self-interest yang mengarah pada perilaku selfish (egois atau mementingkan diri sendiri).

B.     KONSEP RASIONALITAS EKONOMI

Menurut ilmu ekonomi konvensional, paham rational economics man, tindakan individu rasional adalah tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memikirkan hari akhirat.

Maka Adam Smith menyatakan bahwa, tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena invisible hand bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[3]

Menurut Syed Omar Syed Agil kriteria individu yang dianggap rasional, apabila:[4]

1.       Mereka tahu apa yang mereka mau sesuai dengan skala prioritas kemauan dan bersikap konsisten (individu andaikan mempunyai informasi lengkap).

2.        Semua informasi dan cara didinilai dengan berdasarkan pada logika akal.

3.        Tujuan dan cara bisa dinilai dengan uang.

4.     Dalam produksi, mereka hanya melihat aspek kemahiran tanpa memandang nilai-nilai moral dan agama yang tidak dapat dinilai dalam bentuk uang.

5.   Perilaku seseorang yang mementingkan kepuasan diri sendiri akan membawa kebaikan kepada masyarakat.

6.    Pilihan dibuat selaras dengan pilihan yang diprediksi dibuat oleh masyarakat. Dianggap rasional sekiranya pilihan yang dibuat bersesuaian dengan kehendak masyarakat.

Bentuk-bentuk manusia ekonomi rasional menurut Syed Omar Syed Agil, adalah:

1.      Egoistic Rationality, bahwa setiap individu digerakkan oleh kepentingan diri sendiri (self interest), yakni produsen akan memaksimalkan keuntungan dan konsumen memaksimalkan kepuasan.

2.  Bounded Rationality, yakni apabila ketidak mampuan individu dalam memenuhi kepuasan pribadinya atau informasi lengkap mengenai kepuasannya maka akan dapat menjadikan individu tidak optimal dalam pilihannya.

3.     Altruism, yakni sarana untuk memberikan kepuasan dalam diri sendiri dengan memuaskan orang lain dengan perbuatan baik. Baik untuk membangun reputasi pribadi dengan maksud menaikkan keuntungan ditengah masyarakat, yang banyak dilakukan perusahaan dengan tanggung jawab sosialnya untuk meningkatkan image yang baik dalam rangka memaksimalkan keuntungan penjualan.[5]

 

C.    RASIONALITAS EKONOMI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM

Dalam ekonomi kapitalisme, Umar Chapra menjelaskan bahwa kapitalis akan menjurus kepada kebebasan individu yang tidak terbatasi untuk memenuhi kepentingan pribadi, kepemilikan, dan pengelolaan privat; ekspansi kekayaan yang dipercepat dan produksi maksimum serta pemenuhan kebutuhan menurut preferensi individual; dan lebih mengutamakan kekuatan- kekuatan pasar dalam lokasi dan distribusi sumber-sumber daya dan meminimalkan peran pemerintah atau penilaian kolektif (Chapra, 2000).[6] Maka, akan berkuasanya kaum kapital (pemilik modal) dengan bebasnya mereka dalam investasinya yang tiada batasnya.

Sehingga dalam kapitalisme, kebutuhan manusia adalah kebutuhan materi (fisik), sedangkan kebutuhan emosional dan spiritual tidak diakui atau dibahas. Individu memuaskan dirinya dengan alat pemuas, yakni barang dan jasa yang berbentuk materi dengan di produksi, dikonsumsi dan didistribusikan. Maka kebutuhan (needs) identik dengan keinginan (wants), nilai kegunaan (utility value) menjadi faktor penentu untuk produksi, konsumsi, dan distribusi barang-jasa itu, sedangkan konsep halal-haram, mashlahah-mudharat tidak menjadi acuan.[7]

Adapun dalam sosialisme, setidaknya ada 2 (dua) hal yang menyebabkan ekonomi ini lemah, yakni:[8]

1.      Seluruh bentuk produksi dan sumber pendapatan menjadi milik negara dan diatur kemudian lewat negara, dipergunakan untuk seluruh rakyat.

Rakyat tidak mempunyai hak untuk memiliki harta kecuali harta-harta tertentu yang telah ditetapkan oleh negara. Motivasi masyarakat untuk bekerja tidak didasarkan atas nilai kepemilikan yang ia akan dapatkan kelak setelah bekerja tetapi lebih dikarenakan adanya aturan yang ketat atas apa yang harus mereka kerjakan. Tetapi, bukan berarti rakyat tidak mendapatkan hasil dari pekerjaannya. Rakyat mendapatkan hasilnya melalui pembagian yang rata yang dilakukan negara.

2.   Kesamaan dalam memenuhi kebutuhan ekonominya didasarkan atas asumsi bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan.

Sehingga potensi yang berkembang dikarenakan latar belakang kemampuan alami kurang mendapat perhatian oleh negara. Keadaan ini menjerumuskan pada kehidupan masyarakat yang beku dan tidak ada dinamika, karena apresiasi hidup manusia terbelenggu oleh berbagai aturan negara yang lebih dipengaruhi oleh perspektif baku tentang masalah kemasyarakatan.

Melihat bebasnya rasionalitas ekonomi individu dalam memuaskan dirinya dalam ekonomi kapitalis, dan bekunya rasionalitas ekonomi individu dalam memuaskan kebutuhan dan keinginnanya dalam sosialis. Islam hadir dengan ekonominya yang khas.

Islam berpandangan bahwa manusia adalah pemakmur bumi (khalifah), dengan petunjuk dari Allah SWT melalui Rasulullah baik perkara akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, dan uqubât (hukum) yang ditemukan di Al-Qur’an dan Al-Hadist. Dalam Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah, yakni mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak segala kemungkinan yang merusak.[9]

Rasionalitas dalam ekonomi Islam dibangun berdasar dari nilai dan ajaran Islam, yakni:[10]

1.   Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan maslahah. Maslahah sangat erat kaitannya dengan maqashid syariah yang mengandung lima tujuan utama, (1) maslahah agama, (2) maslahah jiwa, (3) maslahah akal, (4) maslahah keturunan, dan (5) maslahah kekayaan.

2.      Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk tidak melakukan kemubadziran (non- wasting).

3.   Setiap pelaku ekonomi akan berhubungan dengan resiko, yang mengandung 3 tindakan, yaitu (1) selalu berusaha untuk meminimumkan resiko, (2) berhadapan dengan resiko ketidakpastian, dan (3) melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan resiko.

Batasan terhadap rasionalitas ekonomi Islam, dalam beberapa konsep menurut Monzer Kahf, yakni:         [11]

1.      Konsep kesuksesan

Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakantindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT.

2.      Konsep kekayaan

Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.

3.      Konsep barang

Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam Al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu, al-tayyibat[12] (barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq[13] (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram.

4.      Konsep etika konsumen

Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk tarf[14] (berfoya-foya) dan tabzir[15] (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi, riba dan lainnya, maupun tindakan taqtir[16] (kikir) terhadap dirinya sendiri pula pada sesama serta Allah SWT.

Kepuasan optimal dapat diketahui dari perintah (hadits) Nabi , yaitu untuk berhenti makan sebelum kenyang. Hal ini apabila muslim melakukan kepuasan yang halal, apabila masih dalam area wajib/sunnah, dan harus berhati-hati dalam kepuasan optimal pada area mubah/makruh, serta apabila masuk pada kepuasan maksimum akan masuk pada keharaman dengan terus menerus menambah barang yang dimakannya (melampaui batas).[17]

Jadi, sarana untuk memuaskan pribadi adalah hal lain sedangkan pemanfaatannya adalah hal lain juga dalam Islam (dipisahkan, ada konsep Islam dikeduanya), dan tujuan (rasionalitas) Islam, bukan hanya meningkatkan taraf kehidupan negara saja, tetapi menjamin kemakmuran setiap individu dengan dibatasi cara perolehan dan pemanfaatannya barang-jasa dengan aturan Allah SWT dalam memenuhi kebutuhan (needs), atau memuaskan keinginan (wants).[18]

D. KESIMPULAN

Dalam ilmu ekonomi konvensional manusia ekonomi rasional (rational economic man) mendapat perhatian serius oleh pakar ekonomi, bahwa perilaku individu adalah pasti rasional. Secara bahasa, rasional berasal dari ratio (latin) berarti akal budi atau pikiran sehat. Secara istilah yakni mengenai keputusan dan tindakan yang didasari atas pertimbangan akal budi. Proses rasionalitas disebut dengan rationalization (rasionalisasi) yang mengandung makna to find motives for conduct which are plausible (pencarian motif tindakan yang masuk akal).

Tindakan individu rasional adalah tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa memikirkan hari akhirat. Bentuk tindakan rasionalitas setidaknya 3 (tiga) macam; (1) Egoistic Rationality; (2) Bounded Rationality; dan (3) Altruism. Yang ketiganya merupakan bentuk pemuasan pribadi dari manusia ekonomi.

Berbeda dengan Islam, yang mempunyai tujuan dari konsumsi individu adalah mencari mashlahah. Yang mashlahah tersebut bermuara pada maqashid syariah (tujuan-tujuan syariah), agar konsep kesuksesan, konsep kekayaan, konsep barang, dan konsep etika konsumen yang masing-masingnya tidak melampaui batas, singga dapat menjerumuskan pada keharaman.

F. DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, ed. by Maghfur Wachid, cet. ke-2 (Bogor: Al Azhar Press, 2014)

An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: HTI Press, 2015)

Gunawijaya, Rahmat, ‘Kebutuhan Manusia Dalam Pandangan Ekonomi Kapitalis Dan Ekonomi Islam’, Al-Maslahah, 13.1 (2017), 131–50

Isfandiar, Ali Amin, ‘Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics’, Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 6.2 (2015), 23 <https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41>

Kholis, Nur, ‘Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional Dan Alternatifnya Menurut Pandangan Ekonomi Islam’, Researchgate, 2009, 1–23

Ngasifudin, Muhammad, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam’, JESI (Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia), 7.2 (2018), 111–19 <https://doi.org/10.21927/jesi.2017.7(2).111-119>



[1] Ali Amin Isfandiar, ‘Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi Berbasis Islamic Ethics’, Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 6.2 (2015), 23 <https://doi.org/10.18326/muqtasid.v6i2.23-41>, hlm. 26-27.

[2] Ibid.

[3] Nur Kholis, ‘Konsep Rasionaliti Dalam Perspektif Ekonomi Konvensional Dan Alternatifnya Menurut Pandangan Ekonomi Islam’, Researchgate, 2009, 1–23, hlm. 4.

[4] Ibid., hlm. 6.

[5] Ibid, hlm. 8.

[6] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam’, JESI (Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia), 7.2 (2018), 111–19 <https://doi.org/10.21927/jesi.2017.7(2).111-119>, hlm. 115.

[7] Hafidz Abdurrahman, Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam, ed. by Maghfur Wachid, cet. ke-2 (Bogor: Al Azhar Press, 2014), hlm. 34-35.

[8] Ibid., hlm. 115-116.

[9] Rahmat Gunawijaya, ‘Kebutuhan Manusia Dalam Pandangan Ekonomi Kapitalis Dan Ekonomi Islam’, Al-Maslahah, 13.1 (2017), 131–50, hlm. 138-139.

[10] Ali Amin Isfandiar, ‘Melacak Teori Rasionalitas Ekonomi., hlm. 39.

[11] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam., hlm. 116-117.

[12] QS. Al-Maidah: 88; QS. Thoha: 81.

[13] QS. Al-A’raf: 32.

[14] QS. Al-Waqi’ah:41-45; QS. Al-Mu’minun: 64.

[15] QS. Al-Isra’: 26-27.

[16] QS. Al-Isra’: 29.

[17] Muhammad Ngasifudin, ‘Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam., hlm. 118.

[18] Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: HTI Press, 2015), hlm. 66-70.



Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: