Sabtu, 12 Oktober 2019

MAHAR : Pengertian, Dasar Hukum, Syarat, Macam-Macam, dan Gugurnya Hak Mahar

Hasil gambar untuk mahar




عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ. فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
Dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi bersabda, "Sungguh seorang manusia akan ditinggikan derajatnya di surga (kelak) sampai ia bertanya, "Bagaimana (aku bisa mencapai) semua ini?" Maka dikatakan padanya, "(Ini semua) disebabkan istighfar (permohonan ampun kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu."[1]

Pernikahan adalah fitrah bagi manusia. Dari pernikahan itu, manusia melestarikan keturunannya dan membangun tatanan masyarakat bergenerasi untuk memakmurkan bumi. Keluarga menjadi lingkungan pedidikan yang kelak akan menjadi investasi amal sholeh yang terus mengalir kepada orang tua dan juga bagi negeri, dan Islam.

Karnanya, pernikahan menjadi sunnah dari Rasulullah kepada umat Islam karna di dalamnya banyak keutamaan-keutamaan yang diraih oleh suami dan istri dan anak-anaknya. Tiada contoh terbaik dari hal membangun pernikahan ini, kecuali dari pernikahannya Rasulullah dan istri-istrinya. Banyak yang dapat kita ambil suri tauladannya dan pahala dari menerapkannya. Terlebih pada saat diawal pernikanan sebelum adanya pernikahan itu sendiri.

Di awal akad pernikahan, adalah hal yang perlu juga kita kaji, terutama perihal mahar. Sebab, mahar merupakan menjadi hak bagi calon istri dari calon suami yang diatur oleh syara’ secara jelas didalam Al Qur’an dan Al Hadist.

Mahar diberikan oleh calon suami untuk menunjukan kemuliaan akan pentingnya akad perkawinan dan penetapan mahar bukan merupakan sebuah timbal balik, kewajiban menyerahkan mahar bukan berarti calon istri dengan pemberian mahar sepenuhnya telah dimiliki suaminya, yang seenaknya suami memperlakukan istri.[2]


Akan tetapi, suami dan istri hanya samasama memiliki hak berkumpul dalam satu atap sebagai suami istri dan dengan adanya akad nikah mereka terikat berbagai hak dan kewajiban seperti apa yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Karnanya sangat penting kita ketahui lebih mendalam mengenai mahar ini, sebagai hak dan kewajiban masing-masing calon pasangan suami istri. Inilah yang melatar belakangi kami untuk membuat makalah ini.

A.    Pengertian Mahar

Secara etimologi (bahasa), mahar (صداق) artinya maskawin.[3] Dan di dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia, mahar atau maskawin disamakan dengan kata . َصداق, ِصداق,مهر.[4] Sedangkan menurut Hamka, kata shidaq atau shaduqat dari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur, putih hati. Jadi artinya harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada mempelai perempuan ketika akan menikah. Arti yang mendalam dari makna mahar itu ialah laksana cap atau stempel, bahwa nikah itu telah dimateraikan.[5]

Wahbah Zuhaili dalam buku Fiqh Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar mempunyai sepuluh nama lain, yaitu: maskawin, ṣadāq, nihlah, farīah, haba, ajr, ‘uqr, ‘alāiq, thaul, dan nikah. Kata shadaq, nihlah, farihah, dan ajr disebutkan dalam al-Quran, sedangkan kata mahar, aliqah, dan uqr ada dalam as-Sunnah. Shadaq berasal dari kata shidq (jujur; kesungguhan). Sebagai isyarat keinginan menikah yang sungguh-sungguh.[6]

Mahar (maskawin) secara terminologi menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar adalah harta yang diberikan kepada perempuan dari seorang laki-laki ketika menikah atau bersetubuh (wathi’).[7] Menurut H.S.A al-Hamdani, mahar atau maskawin adalah pemberian seorang suami kepada istrinya sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad nikah sebagai pemberian wajib yang tidak dapat diganti dengan yang lainnya.[8] Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, mahar atau maskawin adalah nama suatu benda yang wajib diberikan oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang disebutkan dalam akad nikah sebagai pernyataan persetujuan antara pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.[9]

Ulama fiqih mazhab memberikan definisi dengan rumusan yang tidak berbeda secara substansialnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa mahar itu adalah:                 المال يجب في عقد النكاح علي الزوج في مقابلة البضع هو
“Harta yang diwajibkan atas suami ketika berlangsungnya akad nikah sebagai imbalan dari kenikmatan seksual yang diterimanya”.[10]
2.    Mazhab Maliki mendefinisikan: “mahar adalah sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”. Menurut mazhab tersebut, istri diperbolehkan menolak untuk digauli kembali sebelum menerima maharnya itu, walaupun telah pernah terjadi persetubuhan sebelumnya.
3.    Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar adalah “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim”.
4.    Mazhab Syafi‟i mendefinisikan mahar sebagai sesuatu yang wajib dibayarkan disebabkan akad nikah atau senggama.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mahar didefinisikan sebagai pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita, baik bentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[11] Dan di dalam Pasal 32 Kompilasi Hukun Islam mengemukakan bahwa ”Mahar diberikan langsung kepada mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya”.[12]

Pada dasarnya mahar tidaklah merupakan syarat dari akad nikah, tetapi merupakan suatu pemberian yang berifat semi mengikat, yang harus diberikan suami kepada istri sebelum terjadi hubungan suami istri, walaupun dalam keadaan belum sepenuhnya mahar yang disepakati itu diserahkan.

Dengan kata lain, mahar merupakan tanda simbolis atas kesiapan suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya, oleh karnanya mahar tidak harus banyak dan bukan sebagai harga dari seorang perempuan dan akad jual beli perempuan.[13] Dan tentunya mahar mempunyai dasar hukum syariatnya dalam pembahasan selanjutnya.

B.     Dasar Hukum Mahar

Mahar sebagai sebuah kewajiban dalam perkawinan Islam, maka kehadirannya tentu memiliki landasan hukum yang menjadi dasar yang kuat sebagai pegangan calon suami sebagai pihak yang mempunyai kewajiban membayar mahar kepada calon istri.
a.       Dasar Hukum Mahar dari Al Qur’an
Sebagai landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan tentang mahar yaitu QS. An-Nisa: 4, 9, 21 dan Qs. Al Baqarah: 237. Secara eksplisit diungkap dalam Al Quran seperti yang terdapat dalam surat An-Nisa’ Berikut surat An-Nisa ayat 4 yang bunyinya:
وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ فَإِن طِبۡنَ لَكُمۡ عَن شَيۡءٖ مِّنۡهُ نَفۡسٗا فَكُلُوهُ هَنِيٓ‍ٔٗا مَّرِيٓ‍ٔٗا
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”
Maksud dari ayat ini adalah seorang lelaki diwajibkan membayar mahar kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan mahar kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan mahar mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal.[14]

Pada dasarnya Islam tidak membolehkan seorang laki-laki meminta kembali mahar yang telah diberikan kepada isterinya. Karena, Allah Swt telah berfirman di dalam surah An-Nisa, Allah SWT berfirman:
وَإِنۡ أَرَدتُّمُ ٱسۡتِبۡدَالَ زَوۡجٖ مَّكَانَ زَوۡجٖ وَءَاتَيۡتُمۡ إِحۡدَىٰهُنَّ قِنطَارٗا فَلَا تَأۡخُذُواْ مِنۡهُ شَيۡ‍ًٔاۚ أَتَأۡخُذُونَهُۥ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.” (QS. An Nisa: 20).

Maksudnya, jika seseorang di antara kalian ingin menceraikan seorang istri dan menggantikannya dengan istri yang lain, maka janganlah ia mengambil darinya maskawin/mahar yang pernah ia berikan kepadanya di masa lalu barang sedikit pun, sekalipun apa yang telah ia berikan kepadanya berupa harta yang banyak.[15] Pada saat bercerai saja tidak diperkenankan untuk mengambil kembali, apalagi masih dalam pernikahan, terkecuali pemberian sukarela dari istri.
b.      Dasar Hukum Mahar dari Al Hadist
Selain al-Qur’an, Rasulullah juga pernah bersabda tentang pentingnya membayar mahar, di dalam Al Hadist berikut ini.
1)      Hadist yang berasal dai Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi.
حَدَّثـَنَا يحَيَح حَدَّثـَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ اَبيِ حَازِمٍ بْنِدينار عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ
النبي صَلَّي االلهُ عَلَيْهِوسَلَّمَ قال لرجل تجوج ولو بخٍ اَتمٍَ مِنْ حَدِيدٍ
Artinya: Telah berkata Yahya, telah berkata Waqi’ dari Sufyan dari Abi Hazim bin Dinar dari Sahal bin Said as-Sa’idi bahwa Nabi berkata:
”hendaklah seorang menikah meskipun (hanya dengan mahar) sebuah cincin yang terbuat dari besi. (HR Bukhari).[16]
      Hadits di atas menunjukkan bahwa mahar sangat penting, maka setiap mempelai laki-laki wajib memberi mahar sebatas kemampuannya. Hadits ini juga menjadi indikasi bahwa agama Islam sangat memberi kemudahan dan tidak bersifat memberatkan.
2)      Hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas, yang berbunyi:
وَعَنْ ابْن عَبَاس رَضِيَاالله عَنْهُ قَالَ رَسُوْاالله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ خَيـْرُ النِسَاء اُخْسَنـُهُنَ وَجُوْهًا وَاَرْخَصُهُنَ مُهُوْرًا
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a ia berkata telah bersabda Rasulullah , “sebaik-baiknya wanita (istri adalah yang tercantik wajahnya dan termurah maharnya).” (HR Baihaqi).[17]
c.       Menurut ketetapan dalil dari Ijma’ menyatakan bahwa: para ulama telah bersepakat bahwa mahar wajib hukumnya tanpa adanya perselisihan (khilaf), ketetapan itu di sepakati oleh para ulama, baik ulama generasi pertama Islam hingga masa sekarang.[18]

Seperti yang disebutkan dalam kitab yang berjudul “Maqashid Al A’mmah Al Syari’ah Al-Islami” berikut:[19]

اختلف العلماء في النكاح الذي شرط فیھ عدم المھر بعد اتفاقھم علیھ جوازالصحة العقد بدون ذكره

 “Para ulama telah berbeda pendapat pada pernikahan yang mensyaratkan tidak ada mahar di dalamnya setelah mereka sepakat atas kebolehan sahnya ‘aqad dengan tidak menyebutkan mahar”.
Dilihat dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha’, yaitu pada tiadanya mahar pada perkawinan. Tetapi, semua sepakat tentang kebolehan mahar, berdasar QS. Al Baqarah: 236.

C.    Syarat-Syarat Mahar

    Mahar mempunyai syarat yang harus terpenuhi oleh calon suami yang diberikan kepada calon istri yakni sebagai berikut:
1.      Harta atau bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan harta atau benda yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar.[20] Akan tetapi apabila mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah nikahnya.
      Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah ra. bahwa Rasulullah bersabda:
عن جابر بن عبد الله -رضي الله عنهما- أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال: «من أعطى في صَداق امرأة مِلءَ كَفَّيْهِ سَوِيقَا أو تمرا فقد استَحَلَّ[رواه أبو داود وأحمد]
“Barangsiapa yang memberi tepung gandum atau kurma sepenuh dua telapak tangannya untuk mahar seorang wanita, maka halal baginya untuk menggaulinya.” (HR. Abu Dawud).[21]

Pada umumnya mahar itu dalam bentuk uang atau juga menggunakan barang berharga lainnya. Namun bukan berarti bentuk maskawin itu harus selalu berupa barang. Akan tetapi maskawin juga bisa menggunakan jasa sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sebab, Islam mensyari’atkan untuk meringankan mahar adalah dengan tujuan untuk tidak memberatkan calon suami, yang sesuai dengan keadaan calon suami dan tidak memberatkan.
Contoh maskawin/mahar berupa jasa dalam Al-Qur’an adalah pada hadist berikut ini:
     إنطلق، لقد زوجتكها فعلمها من القرآن
      Nabi bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”. (HR. Muslim).
Hadits tersebut memberikan gambaran bahwa mahar itu hanya berupa uang dan barang saja. Akan tetapi juga bisa menggunakan jasa yang berupa hafalan seperti contoh dalam hadits tersebut.
2.  Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Maka tidak boleh memberikan mahar dengan khamar, babi dan darah serta bangkai, karena itu tidak mempunyai nilai menurut pandangan syariat Islam. Itu adalah haram dan tidak berharga.
3.    Milik sendiri bukan milik orang lain, bukan barang ghosob. Ghosob artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena akan dikembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghosob tidak sah. Harus diganti dengan mahar mitsil, tetapi akad nikahnya tetap sah.
4.      Mahar itu tidak boleh berupa sesuatu yang tidak diketahui bentuk, jenis dan sifatnya.[22]

D.    Macam-Macam Mahar
Para Fuqaha telah membagi mahar kepada dua macam, yakni Mahar Musamma dan Mahar Mitsil.
1.      Mahar Musamma
Merupakan mahar yang telah jelas dan ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Jenis mahar ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu: 1) Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya. Menyegerakan pembayaran mahar termasuk perkara yang sunnat dalam Islam. 2) Mahar Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya, akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.

Berkenaan dengan pembayaran mahar, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul (berhubungan). Ulama sepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian/berdua-duan) dan juga telah dukhul. Membayar mahar apabila telah terjadi dukhul adalah wajib, sehingga jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang.
2.      Mahar Mitsil.
Adalah mahar yang tidak disebutkan jenis jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.[23]
Maksudnya adalah mahar yang diusahakan kepada mahar-mahar yang pernah diterima pendahulunya atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memperhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya. Misal, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita.
Madzhab Maliki dan Syafi’i menetapkan batasan mahar mitsil yaitu, mahar kerabat perempuannya yang ashabah (paling dekat). Seperti, saudara-saudara perempuan, para keponakan perempuan dari saudara laki-laki, para bibi dari pihak bapak, jika dia tidak memiliki kerabat perempuan ashabah maka yang dijadikan standar adalah perempuan yang memiliki hubungan paling dekat dengannya yaitu ibunya dan bibinya dari pihak ibu.[24]
Menurut Madzhab Maliki yang menjadi ukuran bagi mahar mitsil adalah kerabat perempuan calon istri, kondisi, kedudukan, harta dan kecantikannya seperti mahar saudara perempuan sekandung atau sebapak. Selain itu menjadi patokannya adalah persamaan dari segi agama, harta, kecantikan, akal, etika, umur, keperawanan, janda, negara, nasab dan kehormatan.[25]
 Madzhab hanbali berpendapat jika kebiasaan para kerabatnya adalah meringankan mahar, maka diperhatikan peringanannya. Jika adat mereka menyebutkan mahar yang banyak yang sebenarnya tidak ada, maka keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Jika adat mereka menangguhkan, maka dibayarkan secara tangguh karena itu adalah kebiasaan mahar kerabat perempuannya. Jika adat mereka tidak ditangguhkan, maka harus dibayar langsung karena mahar ini adalah pengganti yang bisa hilang seperti harga barang-barang yang hilang. Jika adat mereka berbeda dalam masalah pembayaran segera ditangguhkan, atau berbeda ukuran banyak dan sedikitnya dalam mahar mereka, maka diambil yang pertengahan darinya karena ini adalah suatu keadilan.[26]
Ulama Hanafiyah secara spesifik memberi batasan mahar mitsil dengan mahar yang pernah diterima oleh saudaranya, bibinya dan anak saudara pamannya yang sama dan sepadan umurnya, kecantikannya, kekayaannya, tingkat kecerdasannya, tingkat keberagamaannya, negeri tempat tinggalnya dan masanya dengan istri yang akan menerima mahar tersebut.
Mahar Mitsil diwajibkan dalam tiga kemungkinan, yaitu: 1. Dalam keadaan suami tidak ada menyebutkan sama sekali mahar atau jumlahnya. 2. Suami menyebutkan mahar musamma, namun mahar tersebut tidak memenuhi syarat yang ditentukan atau mahar tersebut cacat seperti maharnya adalah minuman keras. 3. Suami ada menyebutkan mahar musamma, namun kemudian suami istri berselisih dalam jumlah atau sifat mahar tersebut dan tidak diselesaikan.[27]

E.     Gugurnya Hak Mahar
Diketahui bahwa mahar adalah hak bagi perempuan yang wajib dibayar oleh suami, tetapi apabila ada suatu sebab tertentu maka maskawin dapat gugur, dan suami tidak wajib membayarnya.   
Sebab-sebab yang menggugurkan maskawin/mahar itu ialah:
1.      Suami gugur dari kewajiban membayar mahar seluruhnya jika perceraian sebelum terjadinya senggama (qobla dukhul) datang dari pihak istri.
2.      Istri mengajukan fasakh (pembatalan) karena suami miskin atau cacat.
3.      Suami itu mengajukan fasakh karena istri itu cacat.
4.      Istri menghibahkan semua mahar untuk suami, jika dia adalah orang yang mampu untuk melakukan sumbangan. Si suami menerima hibah istrinya di dalam majelis, baik hibah tersebut dilakukan sebelum mahar diterima maupun setelahnya[28]

Mengenai gugurnya mahar ini, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk mahar seluruhnya apabila peceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau memfasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya. Bagi istri seperti ini, hak mahar gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya. Tetapi, apabila penceraian datangnya dari pihak suami sebelum persetubuhan dilaksanakan maka maharnya harus dibayar setengah dari jumlah yang sudah diikrarkan.[29] Selain itu juga, mahar gugur dengan penghibahan, menurut mazhab Maliki. Akan tetapi, mereka berpendapat, jika seorang perempuan menghibahkan semua maharnya kepada suaminya, kemudian dia diceraikan sebelum terjadi persetubuhan, maka si istri tidak memiliki kewajiban untuk mengembalikan sesuatu pun kepada suaminya.

F.     Hikmah Mahar
Hikmah dibalik diwajibkannya mahar, menunjukkan pentingnya posisi akad ini, serta untuk menghormati dan memuliakan perempuan. Adapun hikmah mahar adalah sebagai berikut:
1.   Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya.
2.    Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena maskawin itu sifatnya pemberian, hadiah, atau hibah yang oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita.
3.  Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah main-main dan perkara yang bisa dipermainkan.
4.   Menunjukkan tanggung jawab suami dalam kehidupan rumah tangga dengan memberikan nafkah, karenanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita dalam kehidupan rumah tangganya. Dan untuk mendapatkan hak itu, wajar bila suami harus mengeluarkan hartanya sehingga ia harus lebih bertanggung jawab dan tidak sewenang-wenang terhadap isterinya.[30]







 DAFTAR PUSTAKA

Al-Amin, Yusuf Hamid. 1994. Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami.  Beirut : Dar al-Kutub al-Alamiyah.
Al-Baihaqi, Ahmad Ibn Al-Hassan Ibn Ali. tt. Sunan Al-Kubra Juz 3. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Bukhari, Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismal. 1998. Shahih Bukhari. Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah.
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Hamdani, H.S.A. 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Hussaini, Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad. tt. Kifayah Al- Akhyar Juz 2. Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiah.
Ali, Atabik dan Zuhdi Muhdlor. tt. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1990. Fiqh Ala al-Madazhib al-Arba’ah Juz IV. Beirut: Dar Al- kitab Al-Ilmiyah.
An Nawawi, Muhammad bin Umar. 2002. Menggapai Keharmonisan Suami Istri: Judul Asli Syarhu Uqud Al Lujjain fii bayani Huquq Az Zaujaini. Surabaya:        Ampel Mulia.
Az-Zuhaili, Wahbah dan Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (penerjemah). 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama R.I. 2001. Kompilasi Hukum Di Indonesia. Jakarta: Depag.
Ghazaly, Abdurrahman. 2003. Fiqih Munakahat: Seri Buku Daras. Jakarta: Prenada Media.
Hamka. 1999. Tafsir al-Azhar Juz IV. Jakarta: PT Pustaka Panji Mas.
Ibnu Katsir. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-19-      22.html. Diakses pada 12 Oktober 2018.
Ibnu Katsir. http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-2-        4.html. Diakses pada 12 Oktober 2018.
Kaharuddin. 2015. Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan. Jakarta: MitraWacana Media.
Shomad, Abdul Wahid. 2009. Fiqh Seksualitas. Malang : Insan Madani.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih      Munahakat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenada         Media Group.
Syarifuddin, Arif. Hukum Perkawinan di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. tb. tt.
Tihami, M. Ahmad  dan Sohari Sahrani. 2009. Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih       Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Press.
Zuhaili, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafi’I Jilid II. Jakarta.
Zuhaily, Muhammad dan Mohammad Kholison (Penerjemah). 2013. Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi'I.          Surabaya: CV. Imtiyaz.





                [1] (Hadits Hasan Riwayat Ibnu Majah no. 3660, Ahmad (2/509) dan lain-lain. Lihat ash-Shahihah no. 1598).
                [2] Kaharuddin, Nilai-Nilai Filosofi Perkawinan, (Jakarta: MitraWacana Media, 2015), hlm. 203
                [3] M. Ahmad Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap), (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 36.
                [4]  Atabik Ali dan Zuhdi muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika), hlm. 462.
                [5] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz IV, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), hlm. 294.
                [6] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, Jilid II, (Jakarta: 2010), hlm. 547.
                [7]  Imam Taqiyuddin Abu Bakar Ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah Al- Akhyar, (Beirut: Dar Al-Kutub al-Ilmiah, tth, Juz 2), hlm. 60.
                [8] H.S.A al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 110.
                [9] Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Madazhib al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Dar Al- kitab Al-Ilmiyah, 1990), hlm. 76.
                [10] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqih Munahakat dan Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 85.
                [11] Direktori Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: 2001), hlm. 1.
                [12] Ibid., hlm. 9.
                [13] Syekh Muhammad bin Umar An Nawawi, Menggapai Keharmonisan Suami Istri (Judul Asli Syarhu Uqud Al Lujjain fii bayani Huquq Az Zaujaini), (Surabaya: Ampel Mulia, cet. 1, 2002), hlm. 16.
                [14] Lihat tafisr Ibnu Katsir dalam http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-2-4.html, yang dikases pada 12 Oktober 2018. Sebab pemberian dari harta istri kepada suami yang sedang sakit, merupakan obat. Sebagaimana atsar sahabat berikut:
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Saddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
                [15] Lihat tafsir Ibnu Katsir dalam http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-nisa-ayat-19-22.html, yang diakses pada 12 Oktober 2018.
                [16] Hafidz Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismali Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riyadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998), hlm. 601.
                [17] Ahmad Ibn Al-Hassan Ibn Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Kubra, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th, juz 3), hlm. 13.
                [18]  Muhammad Zuhaily. terj. Mohammad Kholison, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Madzhab Syafi‟I, (Surabaya: CV. Imtiyaz, 2013), hlm. 235.
                [19]  Yusuf Hamid Al-Amin, Maqashid Al-A’mmah Al-Syari’ah Al-Islami, (Beirut : Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1994), hlm. 427.
                [20] Abd Wahid Shomad, Fiqh Seksualitas (Malang : Insan Madani, 2009), hlm. 88.
                [21] HR. Muslim (no. 1405) kitab an-Nikaah; Abu Dawud (no. 2110) kitab an-Nikaah dan ini redaksi darinya, Ahmad (no. 14410).

                [22] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat “Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003, hlm. 87-88.
                [23]  Arif Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hlm. 89
                [24] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, Jilid II, (Jakarta: 2010), hlm. 234.
                [25] Ibid.
                [26] Ibid., hlm. 245.
                [27] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 85.
                [28] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, ahli bahasa oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta : Gema Insani, 2011), Cet. 1, hlm. 268-269.
                [29] Lihat QS. Al- Baqarah ayat 237.
                [30]  Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 674.





Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: