Rabu, 16 Oktober 2019

HADITS MUSALSAL, AZIZ, MASYHUR, MU’AN’AN, MUBHAM | Al-Manzhumah al-Baiquniyyah Bait ke-10,11,12,13




HADITS MUSALSAL

مُسَلْسَلٌ قُلْ مَا عَلَى وَصْفٍ أَتَى ... مِثْلُ  أَمَا وَاللهِ  أَنْبَانِي الْفَتَى
Musalsal –katakanlah- adalah hadits yang datang dengan sifat tertentu
Seperti telah mengabarkan kepadaku seorang pemuda (yang adil). 




Hadits muslasal adalah hadits yang secara berturut-turut diriwayatkan oleh masih-masih rawi dengan sifat periwayatan tertentu. 

Musalsal ada dua macam:

Pertama, musalsal qauly (dalam perkataan). Contohnya adalah yang disebutkan penulis, “mengabarkan kepadaku seorang pemuda (yang adil)”. Disebut musalsal karena setiap rawi dalam sanadnya mengatakan ungkapan tersebut ketika meriwayatkan kepada perawi yang dibawahnya.

كَـذَاكَ قـَدْ حَدَّثَنِيهِ قَـائِمَا ... أَوْ بَعْدَ أَنْ حَدَّثَنِيْ تَبَسّـَمَا
Begitu juga “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”
Atau “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”

Bait ini contoh untuk jenis musalsal yang kedua, musalsal fi’ly (dalam perbuatan). 

Setiap rawi yang meriwayatkan hadits mengatakan “ia telah menyampaikan kepadaku dalam keadaan berdiri”, atau, “setelah menyampaikan kepadaku ia tersenyum”.

Menurut bahasa, merupakan isim maf’ul dari kata as-salsalatu, yang berarti bersambungnya sesuatu dengan sesuatu yang lain, sebagaimana rantai besi. Dinamakan seperti itu karena aspek kesinambungan dan keserupaan antar bagiannya mirip dengan rantai. Menurut istilah, hadits yang para perawinya dalam sanadnya berkesinambungan pada sifat-sifat atau kondisi tertentu, dan kadangkala pada riwayat lain. [Taysir Musthalah Hadits, Mahmud Thahhan].

Musalsal itu adalah hadits yang para perawi sanadnya berurutan pada:
a. Bersekutu pada satu sifat
b. Bersekutu pada satu kondisi
c. Bersekutu pada satu sifat dalam riwayat

Berdasarkan penjelasan terhadap definisi, jelas bahwa musalsal itu jenisnya ada tiga, yaitu: musalsal dengan keadaan para perawi, musalsal dengan sifat para perawi, dan musalsal dengan sifat-sifat periwayatannya. 

Berikut ini paparan masing-masingnya:

a. Musalsal dengan keadaan para perawi: keadaan para perawi menyangkut perkataan-perkataannya, atau perbuatan perbuatannya, atau perkataan dengan perbuatan secara bersamaan.

– Musalsal dengan keadaan para perawi yang menyangkut perkataan. 

Contohnya adalah hadits Muadz bin Jabal, bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya: “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu maka bacalah setiap kali akhir shalat, Wahai Allah bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu dan berbadah dengan baik kepada-Mu.” Hadist ini musalsal dengan ucapan setiap perwinya, yaitu : “Dan aku ini mencintaimu, maka bacalah.”

– Musalsal dengan kedaan para perawi yang menyangkut perbuatan. 

Contohnya hadits Abu Hurairah, yang berkata: “Abu al-Qasim telah menjajarkan tanganku seraya bersabda: “Allah telah menciptakan bumi pada hari Sabtu.” 
Hadits ini musalsal dengan menjajarkan tangannya pada setiap rawi dari riwayatnya.

– Musalsal dengan keadaan para perawi yang menyangkut perkataan dan perbuatan secara bersamaan. 

Contohnya hadits Anas, yang berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Seorang hamba tidak akan menjumpai manisnya iman sampai ia beriman kepada qadar, baik buruknya, manis pahitnya.” Kemudian Rasulullah menggenggam jenggotnya dan bersabda lagi, "aku telah beriman kepada qadar, baik buruknya, manis pahitnya.” 

Hadits ini musalsal pada setiap rawi dalam meriwayatkannya dengan menggenggam jenggotnya, dan pada perkataan: “Aku telah beriman kepada qadar, baik buruknya, manis pahitnya.”

b. Musalsal dengan sifat para perawi: sifat-sifat para perawi itu menyangkut perkataan atau perbuatan.

– Musalsal pada perawi yang menyangkut perkataan. 

Contohnya hadits musalsal mengenai bacaan surah as-Shaff. Musalsal dengan perkataan setiap rawi: “Maka si fulan membacakan seperti ini.” Dalam hal ini al-‘Iraqi berkata: “Sifat-Sifat rawi yang menyangkut perkataan, dan kondisi ucapan mereka itu bukan hanya berdekatan melainkan amat serupa.”

– Musalsal pada perawi yang menyangkut perbuatan. Seperti kesamaan nama-nama perawi dengan Muhammad; atau kesamaan dalam hal keahlian, seperti para perawi sama-sama fuqaha atau huffadh; atau keamaan nasab, seperti para perawi sama-sama dari Damaskus atau Mesir.

c. Musalsal dengan sifat periwayatan: sifat periwayatan ini bisa menyangkut bentuk penyampaian, atau waktu riwayat, atau tempatnya.

– Musalsal dalam bentuk periwayatan. Contohnya adalah hadits musalsal dengan perkataan setiap perawinya: sami’tu [aku telah mendengar] atau akhbaranaa [telah mengabarkan kepada kami].

– Musalsal yang menyangkut waktu pada riwayat. Seperti hadits musalsal yang meriwayatkan hari ‘Ied.

– Musalsal yang menyangkut tempat pada riwayat. Seperti hadits musalsal yang menyangkut ijabahnnya doa di multazam.

Yang paling utama adalah yang menunjukkan kesinambungan pada as sima’ dan tidak adanya tadlis.

Manfaatnya, karena menambah kedlabitan para perawi.

-------------------------------------------

HADIST AZIZ

عَزِيْزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةْ ... مَشْهُوْرُ مَرْوِيْ فَوْقَ مَا ثَلَاثَةْ
Aziz adalah (hadits) yang dirwayatkan dua atau tiga
Masyhur adalah (hadits) yang diriwayatkan lebih dari tiga.




Pada bait ini, penulis menjelaskan istilah hadits aziz dan masyhur. Sebelum masuk pembahasan ini, mari kita petakan dulu klasifikasi hadits dari sisi jumlah jalur periwayatannya. 

Hadits, dari sisi ini terbagi menjadi dua [Nukhbah al-Fikar dengan, Al-Hafizh Ibnu Hajar]:

Pertama, mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang banyak yang seluruh rawinya tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan.

Kedua, ahad. Ia adalah hadits yang diriwayatkan dengan jalur periwayatan yang terbatas, yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. Hadits ahad ini kemudian dibagi menjadi tiga:

1. Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur periwayatan

2. Aziz
Hadits aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga jalur periwayatan. ini sebagaimana pendapat yang dipilih penulis[ini adalah pendapat Ibnu Mandah dan Ibnu Thahir, Hawasyi al-Baiquniyyah]. Pendapat lain, yang merupakan pendapat terkenal dikalangan mutaakhirin adalah: aziz adalah hadits yang diriwayatkan dengan dua jalur periwayatan saja.

3. Masyhur
Hadits masyhur adalah hadits yang diriwayatkan dengan lebih dari tiga jalur periwayatan namun tidak sampai derajat mutawatir. Ini juga pendapat yang dipilih penulis nazham. Pendapat yang terkenal di kalangan mutakhirin adalah; masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga jalur periwayatan atau lebih, dan tidak sampai pada derajat mutawatir.




Maksud dari jumlah jalur periwayatan ini adalah jumlah minimal yang ada dalam tingkatan-tingkatan sanad (thabaqat as-sanad). Artinya, untuk menentukan suatu hadits apakah ia gharib, aziz atau masyhur, cukup melihat jumlah terkecil yang ada dalam tingkatan sanad tersebut, dan tidak disyaratkan adanya jumlah tersebut dalam semua tingkatan (thabaqah).

-------------------------------------------

HADIST MU’AN’AN (DAN MU’ANAN) DAN MUBHAM (DAN MUHMAL)

مُعَنْعَنٌ كَعَنْ سَعِيْدٍ عَنْ كَرَمْ ... وَمُبْهَمٌ مَا فِيْهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ
Mu’an’an seperti ‘an (dari) Sa’id ‘an (dari) Karam
Dan Mubham adalah hadits yang padanya ada rawi yang tidak disebutkan namanya. 



Pada potongan bait pertama, penulis menyebutkan istilah mu’an’an hanya dengan menyebutkan contohnya, tanpa mendefinisikan. Hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan lafadz ‘an (dari), yang dalam istilah ilmu hadits termasuk bentuk penyimakan yang tidak secara jelas memberi faidah sama’ (mendengar) secara langsung (shighah muhtamilah).

Menurut bahasa: mu’an’an merupakan isim maf’ul dari kata ‘an’ana yang berarti dari, dari. Menurut istilah: yaitu perkataan si rawi, fulan dari si fulan.

Apakah Hadits Mu’an’an Termasuk Muttashil atau Munqathi’?

Para ulama telah berbeda pendapat yang bermuara pada dua pernyataan:
a. Termasuk hadits munqathi’ (terputus) sampai jelas-jelas bersambung.
b. Yang benar dari pendapatnya bisa diamalkan adalah pendapat jumhur dari pakar hadits, fiqih dan ahli ushul, bahwa hadits mu’an’an itu muttashil (bersambung), asalkan memenuhi beberapa syarat. 

Mereka sepakat terhadap dua buah syarat, akan tetapi berbeda pendapat terhadap syarat-syarat lainnya. Dua buah persyaratan yang mereka sepakati, yang menurut Imam Muslim harus ada, adalah: 1) Hadits mu’an’an itu bukan termasuk hadits mudallas. 
2) Memungkinkan mereka untuk saling bertemu; yaitu betemunya si mu’an’in dengan orang yang menjadi ‘an’an-nya. 

Sedangkan syarat-syarat yang diperselisihkan, yang menjadi syarat-syarat tambahan bagi dua syarat yang sebelumnya adalah:
a. Kepastian bertemunya: ini merupakan pendapat Bukhari, Ibnu Madini, dan para muhaqqiq.
b. Lamanya persahabatan: ini adalah pendapatnya Abu Mudhaffar as-Sam’ani.
c. Mengetahui terhadap apa yang diriwayatkan: ini adalah pendapat Abu Amru ad-Dani.

Serupa dengan hadits mu’an’an adalah hadits mu’anan. Mu’anan menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari kata annana, yang berarti sesungguhnya. Menurut istilah: merupakan pernyataan si rawi, telah menceritakan kepadaku si fulan sesungguhnya fulan telah berkata.

Hukum Hadits Muannan: jumhur (ahli hadits) mengatakan anna itu sama dengan ‘an, yang mengandung pengertian as-sima’, meskipun harus memenuhi syarat-syarat sebelumnya.  

-------------------------------------------
HADIST MUBHAM



Pada potongan bait yang kedua, penulis menyebutkan istilah mubham. Ia adalah hadits yang terdapat padanya seorang rawi yang tidak disebutkan namanya. Baik ia terjadi pada sanad atau pata matan. Contoh pada sanad adalah “dari Sufyan, dari seorang laki-laki”. Contoh dalam matan adalah, “datang seorang laki-laki kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”. jika terjadi pada sanad, maka ia berpengaruh pada hukum haditsnya. Namun jika terjadi pada matn, maka ia tidak berpengaruh pada hukum haditsnya.

Menurut bahasa, mubhamat itu bentuk jamak dari kata mubham, yang merupakan isim maf’ul dari kata al-ibham, yang berarti lawan dari jelas. 

Manfaat mengetahui hadits mubham:
a. Mubham pada sanad: mengetahui para perawi apakah tsiqah ataukah dhaif, untuk menetapkan apakah haditsnya itu shahih atau dlaif.
b. Mubham pada matan: manfaatnya dalam hal ini amat banyak, tetapi yang menonjol adalah untuk mengetahui pemilik kisah atau si penanya, sehingga jika dalam hadits itu terdapat kelebihan maka kita akan mengetahui keutamaannya. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, kita bisa mengetahui keutamaan para shahabat dengan mengetahui selamatnya dari dugaan.

Hukum riwayatnya: tidak diterima, hingga ada rawi [haditsnya] yang menyebutkan namanya; atau namanya diketahui melalui jalur lain yang menjelaskannya. Penyebab ditolak riwayatnya karena sosok rawinya tidak disebutkan. Sebab, siapa pun yang tidak dikenal namanya berarti tidak diketahui pula sosoknya, tentu saja termasuk keadilannya. Riwayatnya tidak dapat diterima. Jika mubham disertai lafadz ta’dil, apakah riwayatnya diterima? Seperti misalnya seorang rawi berkata: “Telah mengabarkan kepadaku orang yang tsiqah. Jawabannya adalah riwayatnya tetap tidak bisa diterima, karena ketsiqahannya itu menurut si rawi, belum tentu tsiqah menurut yang lain.

Hampir mirip dengan mubham adalah muhmal. Menurut bahasa, merupakan isim maf’ul dari kata al-ihmal, yang berarti at-tarku [mencampakkah]. Jadi si rawi meninggalkan namanya tanpa menyebut perbedaan dengan yang lainnya. Menurut istilah, adalah rawi meriwayatkan hadits dari dua orang yang serupa namanya, atau bahkan serupa nama bapak-bapaknya, atau yang semacam itu; tetapi tidak membedakan secara khusus satu sama lain.

Kapan ihmal bisa merusak? Jika salah seorang tsiqah, sedangkan yang lainnya dhaif. Dalam hal ini tidak diketahui siapa yang meriwayatkan. Mungkin salah satu dari keduanya dhaif sehingga haditsnya jadi dhaif. Lain lagi jika keduanya itu tsiqah, ihmal tidak membuat rusaknya hadits yang shahih.

Contoh:
a. Jika keduanya tsiqah: hadits yang terdapat dalam riwayat Bukhari, dari Ahmad [tanpa nasab] dari Ibnu Wahab. Di sini mungkin [yang dimaksud adalah] Ahmad bin Shalih atau Ahmad bin ‘Isa. Keduanya tsiqah.
b. Jika salah satu dari keduanya tsiqah, yang lainnya dlaif: Sulaiman bin Daud, dan Sulaiman bin Daud. Jika yang dimaksudnya adalah al-Khulani, maka tsiqah, sedangkan jika yang dimaksud al-Yamami, maka dhaif.

Perbedaan Muhmal dan Mubham: muhmal itu namanya disebut tetapi sosoknya samar; sedangkan mubham sama sekali namanya tidak disebutkan.

Wallahu a’lam. [MKH Bandung]

Kitab: al-Taqriiraat al-Saniyyah (Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyyah)
Penyusun: Syeikh Hasan Muhammad al-Masyaath
Kitab Tambahan: Taysir Musthalah al-Hadiits

Sumber:

Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

1 komentar:

  1. Trimakasih pak atas ilmunya smoga slalu berkah dan manfaat
    Ijin nyomot ilmu bapak nggih

    BalasHapus