Kamis, 17 Oktober 2019

HADITS MURSAL DAN GHARIB | Al-Manzhumah al-Baiquniyyah Bait ke-16




HADITS MURSAL DAN GHARIB

وَمُرْسَلٌ مِنْهُ الصَّحَابِيُّ سَقَطْ…  وَقُلْ غَرِيْبٌ مَا رَوَى رَاوٍ فَقَطْ
Dan mursal adalah (sanad) yang darinya seorang sahabat jatuh
Dan katakanlah: (hadits) gharib adalah yang diriwayatkan oleh satu rawi saja. 




Ungkapan Syaikh al-Baiquniy mengisyaratkan bahwa hadits mursal adalah hadits yang jatuh padanya shahabat dalam sanadnya, dan ini tidak disepakati oleh para ulama, dikarenakan telah dimaklumi bahwa seluruh shahabat adalah adil dan apabila mursal tersebut dari tabi'in dengan menggugurkan shahabat maka hal ini tidaklah memadharatkan status hadits dari segi ittishalnya.

Secara bahasa, hadits mursal merupakan isim maf’ul dari kata arsala, yang berarti melepaskan. Jadi seakan-akan lepas dari ikatan sanad, dan tidak terikat dengan rawi yang sudah dikenal. Adapun menurut istilah, hadits yang gugur pada akhir sanad setelah tabi’in. Gambarannya adalah bahwa seorang tabi’in (baik tabi’in senior maupun junior) mengatakan: Rasulullah saw. bersabda begini-begini. Atau telah mengerjakan begini-begini, atau dilakukannya sesuatu perbuatan dengan kehadiran beliau begini-begini. Bentuk seperti ini merupakan mursal menurut para pakar hadits.

Contoh hadits mursal adalah hadits yang dikeluarkan Muslim dalam kitab shahihnya, bab tentang jual beli, yang berkata: “Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Rafi’, telah menuturkan kepada kami Hujain, telah menuturkan kepada kami al-Laitsi, dari ‘Uqail dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyib bahwa Rasulullah saw. telah melarang (jual beli) muzabanah.” Sa’id bin Musayyib merupakan tabi’in senior, yang telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi saw. tanpa menyebutkan perantara antara dirinya dan Nabi saw. Hadits ini gugur sanadnya di bagian akhir setelah tabi’in. Minimal, gugurnya sanad adalah para shahabat, namun bisa saja terjadi para shahabat bersama-sama dengan selain shahabat, seperti dengan tabi’in.

Bentuk hadits mursal yang disinggung di sini merupakan hadits mursal menurut para pakar hadits. Sedangkan bentuk hadits mursal menurut fuqaha dan ulama ushul lebih umum lagi. Menurut mereka, setiap hadits yang terputus sanadnya merupakan hadits mursal, dimanapun tempat terputusnya. Ini merupakan pendapat al-Khathib.

Hadits mursal termasuk macam hadits dhaif yang disebabkan oleh keterjatuhan dalam sanad. Karena seorang tabi’in tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Rasulullah. Sisi kedhaifannya ditilik dari adanya kemungkinan bahwa seorang tabi’in itu meriwayatkan dari tabi’in yang lain yang tidak diketahui kestiqahannya. Oleh karena itu, definisi mursal menurut syeikh al-Baiquny dinilai kurang tepat. Karena beliau menyebutkan bahwa yang jatuh dalam sanad mursal adalah seorang sahabat, sementara bukanlah sebuah kepastian bahwa yang jatuh itu adalah sahabat. Karena tabi’in tidak selalu meriwayatkan dari sahabat, melainkan juga sering meriwayatkan hadits dari sesama tabi’in.

Ada tiga pendapat terkait hal ini:
a. Termasuk hadits dhaif mardud. Ini menurut jumhur ulama hadits dan sebagian besar dari ulama ushul dan fuqaha. Alasan mereka karena tidak diketahuinya keadaan rawi yang dibuang (hilang), karena mungkin saja rawi yang dibuang itu bukan shahabat.
b. Termasuk hadits shahih dan bisa dijadikan argument. Ini pendapat tiga imam yang masyhur seperti Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, serta kelompok ulama lain. Dengan syarat hadits mursal itu berasal dari orang-orang yang tsiqah. Alasan mereka adalah bahwa tabi’in itu adalah tsiqah.
c. Bisa diterima dengan beberapa persyaratan. Ini menurut pendapat Syafi’i dan beberapa ahli ilmu. Syaratnya ada empat; tiga diantaranya menyangkut rawi hadits mursal, dan satunya pada hadits mursalnya: 1) hendaknya pembawa hadist mursal itu dari kalangan tabi’in senior; 2) jika orang yang menyampaikannya disebut tsiqah; 3) jika bersekutu dengan orang-orang yang hafizh lagi terpercaya, mereka tidak menyelisihinya; 4) jika tiga syarat yang tergabung tersebut mengandung salah satu perkara ini: a) jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain sebagai tempat sandaran; b) jika hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain secara mursal, yang diketahui dari selain rawi hadits mursal yang pertama; c) sesuai dengan perkataan shahabat; d) jika memfatwakan sesuatu dengan kebanyakan ahli ilmu.

Adapun mursal sahabat, yaitu seorang shahabat yang meriwayatkan dari Rasulullah suatu hadits yang tidak didengarkan secara langsung, maka ia termasuk hadits shahih, karena kemungkinan besar bahwa seorang sahabat tersebut mendengar dari sahabat yang lain. Dan semua sahabat adalah adil, sehingga tidak perlu diteliti lagi soal ketsiqahannya. Hadits mursal shahabat merupakan hadits shahih masyhur, yang ditetapkan oleh jumhur bahwa hadits ini shahih dan bisa dijadikan sebagai hujjah.  

-----------------------------

Pada potongan bait yang kedua, syeikh al-Baiquny mendefinisikan istilah hadits gharib yang telah lalu penyebutannya dalam klasifikasi hadits dari sisi jumlah jalur periwatannya beserta istilah hadits aziz dan masyhur (silahkan dirujuk kembali). Hadits gharib adalah hadits dengan satu jalur periwayatan saja.

Secara bahasa, gharib merupakan sifat musyabbahah yang bermakna al-munfarid (sendiri), atau jauh dari karib kerabat. Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Penjelasannya, gharib hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, sendirian. Bisa di setiap thabaqatnya dari seluruh thabaqat sanadnya, atau di sebagian thabaqat sanad, malahan bisa pada satu thabaqat saja. Adanya jumlah rawi lebih dari seorang pada thabaqat lainnya tidak merusak hadits gharib, karena yang dijadikan sebagai patokan adalah yang paling minimal.

Nama lain hadits gharib, di antaranya al-fardu; keduanya memiliki arti yang sama. Sebagian ulama lainnya telah membedakan keduanya. Namun, al-Hafizh Ibnu Hajar menganggap keduanya itu sama saja, baik ditinjau dari segi bahasa maupun istilah. Meski begitu, beliau berkata: Bahwa ahli istilah (maksudnya adalah ahli hadits) telah membedakan keduanya, dilihat dari sisi banyaknya dan sedikitnya penggunaan. Disebut hadits fard, karena lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang mutlak. Sedangkan hadits gharib lebih banyak digunakan untuk hadits fard yang nisbi.

Wallahu a’lam. [MKH Khadimus Sunnah]


Kitab: al-Taqriiraat al-Suniyyah (Syarh al-Manzhumah al-Baiquniyyah)
Penyusun: Syeikh Hasan Muhammad al-Masyaath
Kitab Tambahan: Taysir Musthalah al-Hadiits
Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: