Minggu, 15 Oktober 2017

KEPEMIMPINAN ISLAM: Wujudkan Negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur

Hasil gambar untuk negeri subur

Oleh: Rendra Fahrurrozie



Abstrak

Pada Jumat, 20 Oktober 2017 mendatang genap 3 tahun masa kepemimpinan kekuasaan negara oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Banyak lika-liku yang terjadi dinegeri ini pada masa kepemimpinannya. Ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap gaya kepemimpinannya.

Sebab itulah, kepemimpinan adalah hal yang sangat penting dalam Islam, sehingga menjadi kebutuhan mendesak yang harus terpenuhi untuk mengatur pelbagai kewajiban-kewajiban yang Allah SWT bebankan kepada manusia pada umumnya, dan untuk umat Islam pada khususnya untuk hidup bersama dalam kedamaian.

Kepemimpinan seperti apakah yang semestinya kita dapatkan saat ini sehingga pelbagai kewajiban-kewajiban (taklif) dari Allah SWT dapat terpenuhi secara baik dan benar? Inilah yang kita perlukan saat ini, karna tugas kita dilahirkan dari rahim ibunda kita adalah untukNya dan sebagai Khalifah (pemakmur) di bumi sehingga terwujud negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur.

Pendahuluan

Secara umum, kepemimpinan (leadership) adalah kegiatan manusia dalam kehidupan. Secara bahasa (etimologi), kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “pimpin” yang jika mendapat awalan “me” menjadi “memimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing[1].

Adapun definisi secara istilah (terminologi), kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang lain untuk menyelesaikan tugas, tujuan atau proyek dengan kinerja maksimal yang mereka miliki.[2]

Pemimpin dalam Islam, sering pula disebut dengan nama Ulil Amri. Allah SWT telah memberikan kewajiban kepada kita untuk taat kepada pemimpin (Ulil Amri) dalam menjalankan amanahnya memenuhi kebutuhan dan membantu manusia untuk memenuhi kewajibannya untuk taqwa kepada Allah SWT. Yakni di dalam Al Qur’an sebagai berikut.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)

Dari ayat ini Islam telah memberikan kewajiban kepada umat Islam untuk taat dan patuh kepada pemimpin, yang kepatuhannya tidaklah secara mutlak seperti ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya.[3]

Ada syarat-syarat yang membatasi ketaatan dan kepatuhan kepada pemimpin, seperti:
1.      Komitmen pemimpin kepada syari’at Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Wajib bagi imam (pemimpin) memerintah dengan aturan yang diturunkan Allah SWT dan menyampaikan amanah. Apabila ia melaksanakan demikian, maka wajib bagi rakyat menaatinya.” (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, No. 3319 dengan isnad yang shahih).

Demikian jika mafhum mukhallafah-nya jika tidak berkomitmen untuk menjadikan Asy Syari’ adalah Allah SWT tetapi hawa nafsu (akal) semata.

2.      Adil dalam kepemimpinannya.
Sebagaimana ayat Al Qur’an sebelum An Nisa: 59 diatas. Yakni QS. An Nisa: 58 berikut firman Allah ta’ala:

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعَۢا بَصِيرٗا ٥٨

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Adalah pemimpin yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan menjauhkan atas yang dipimpinnya dari kemaksiatan dan kezaliman. Bukan membiarkannya, atau bahkan memfasilitasinya.

3.      Nampak kekufuran nyata dalam kepemimpinannya.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, mengenai tafsir QS. An Nisa : 59 terdapat penjelasan mengenai Ulil Amri diantaranya hadis berikut:

“Terkecuali jika kalian melihat kekufuran secara terang-terangan dikalangan kalian, dan ada bukti dari Allah mengenainya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur

Dua bulan yang lalu, Indonesia telah genap berusia 72 tahun menjalankan roda pemerintahan dengan mengadopsi sumber hukum positif sebagai landasan bernegara. Dengan Visi bangsa adalah Pancasila sebagai perwujudan komitmen seluruh rakyat Indonesia dengan kelima silanya yang disakralkan.

Silih berganti pemimpin yang menjadi pucuk tertinggi dalam bernegara, dari era orde lama (20 tahun) kemudian orde baru (33 tahun), dan saat ini adalah orde Reformasi (19 tahun). Dengan gaya kepemimpinan yang khas dari tiap Presidennya masing-masing. Ini menjadi hal yang menarik kita kaji, sebab hingga kini arah kebijakan penguasanya menjadi topik utama dikalangan rakyat Indonesia.

Umat Islam adalah rakyat terdepan dalam membangun bangsa Indonesia, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Bahu membahu umat Islam dan para ulamanya mengusir penjajah dan membangun bangsa ini untuk mewujudkan negeri yang Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur.

Istilah Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur, terdapat dalam Al-Qur’an yang menggambarkan Negeri Saba’ yang subur dan makmur di bawah kepemimpinan Raja Dawud dan Putranya Sulaiman dengan penduduknya  yang selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Allah SWT berfirman:

لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ ١٥

“ Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbhun Ghaffur." (QS. Saba’: 15).

Negeri yang makmur dan damai diungkapkan dengan kalimat Baldatun Thoyyibatun wa rabbhun ghaffur, secara bahasa berarti: ”Negeri yang baik dengan rabb Yang maha pengampun”. Makna “Negeri yang baik (Baldatun Thoyyibatun)” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb yang maha pengampun (Rabbun Ghafur)” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allah SWT.[4]

Sekularisme Menginfeksi Kepemimpinan di Indonesia

Sejak para pendiri bangsa pasca kemerdekaan (1945) hingga kinipun, perdebatan tentang model sistem pemerintahan menjadi hal yang utama dan penuh intrik politik sehingga yang dapat memenangkan adalah politik yang menjadikan egoisme kekuasaan sebagai alat untuk menyingkirkan lawan politiknya.

Dari perdebatan tentang rapat BPUPKI, rapat PPKI, piagam Jakarta, Nasakom, UU Suversif, dan kini Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 menjadikan rakyat Indonesia terus dalam perdebatan panjang dan dalam kungkungan tuduh menuduh tak berujung dengan mengorbankan anak bangsa sendiri.

Seolah ada ‘produser dan sutradara’ yang menjadikan kita rakyat Indonesia tetap dalam kesibukan antara rakyat dan penguasanya sendiri. Dengan menancapkan virus-virus yang menginfeksi bangsa Indonesia tapi dilain tempat mereka asyik menjarah dan ‘mencaplok’ sumber-sumber kekayaan negeri ini.

Sekularismelah yang telah menjadikan kita terus larut dalam kubangan ini. Seolah tak maju-maju dengan pemikiran statis dan konsumtif. Padahal anak bangsa banyak menelurkan penemuan-penemuan canggih yang tak tersentuh oleh peran negara sebagai fasilitator mereka. Oleh sebab, negara banyak menanggung beban hutang yang sangat banyak dan masalah yang kompleks.

Kepemiminan adalah kunci dari semua itu. Sebab, yang mengatur kehidupan organisasi besar yang bernama negara, setiap jengkal tanah, hamparan laut serta gunung yang menjulang tinggi semua dalam kekuasaan kepemimpinan itu. Diatur dalam gaya dan kekhasan kepemimpinan itu.

Lantas bagaimana jika kepemimpinan itu justru terinfeksi sekularisme? Sungguh, akan jauhlah dari keberkahan dan keadilan. Sebab, Allah SWT dan RasulNya tidak lagi menjadi mutlak sebagai rujukan utama tetapi sebagai pilihan (opsi) dari beberapa pilihan hukum yang lain.

Inilah yang menyebabkan negeri kita, yang tercinta ini terus dalam ketidak jelasan arah politiknya. Diawal berdiri condong ke haluan kiri (Komunisme-Sosialisme), pertengahan menjadi Liberalisme, selanjutnya menjadi Neo Liberalisme dan kini menjadi cenderung menjadi Kapitalisme gaya baru dengan polesan haluan kiri.

Padahal, Allah SWT telah memberikan kabar untuk kita, manusia Indonesia dan umat Islam pada khususnya untuk terus menyembah Allah SWT dalam setiap jengkal persoalan, dan semuanya dalam rangka ketaatan padaNya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana firman Allah SWT.

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ ٥

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Sedangkan keikhlasan adalah murni untuk Allah SWT dengan cara-cara yang benar (sesuai syariat). Inilah awal dari mewujudkan negeri Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur. Bukan dengan mengindahkan aturanNya dan memakai aturan selainNya (sekularisme).

KEPEMIMPINAN ISLAM: Solusi Pasti Wujudkan Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur

Dalam teknis kepemimpinan, William A. Cohen dalam bukunya The New Art of The Leader mengatakan ada 8 (delapan) hukum kepemimpinan Universal yang dapat diterapkan untuk memimpin kelompok apapun, bahkan negara.[5] Yaitu:

1.       Memelihara Integritas Diri Secara Mutlak. Ini adalah fondasi bagi semua kepemimpinan. Jika tidak menjaga integritas, maka kepercayaan oleh bawahan (rakyat misalnya) akan tidak didapatkan.

2.       Menguasai bidang keahlian. Bawahan (rakyat) tidak akan peduli apakah kita ahli dalam politik organisasi/negara. Yang mereka inginkan adalah ahli dalam hal yang menyelesaikan pekerjaan/masalah.

3.       Menunjukkan Ekspektasi dan Cita-Cita Secara Nyata. Anda tidak akan sampai “disana” sebelum anda mengetahui secara pasti letak “disana” itu dan membuat para pengikut (bawahan/rakyat) mengetahui itu.

4.       Memperlihatkan Komitmen Yang Luar Biasa. Jika Anda tidak berkomitmen, pun demikiannya dengan orang lain (rakyat/bawahan). Jika Anda tidak berkomitmen Luar biasa, pun demikiannya dengan orang lain (rakyat/bawahan).

5.       Mengharapkan Hasil Positif. Jika Anda berharap sukses ataupn gagal, ataupun keadaaan buruk sekalipun, tetaplah mengharapkan hasil yang positif.

6.       Mengayomi Bawahan. Jika Anda menjaga dengan baik bawahan (rakyat) mereka juga akan menjaga Anda. Jika Anda mengabaikan mereka, maka mereka pun akan mengabaikan Anda.

7.       Mengutamakan Kewajiban Di Atas Kepentingan Pribadi. Pemimpin adalah menjadikan bawahan/rakyat sebagai pertimbangan utama. Jika tidak, Anda bukan pemimpin.

8.       Menyiagakan Diri Digaris Terdepan. Jangan menunggu laporan hanya di bilik ruangan Anda. Keluarlah agar Anda tidak saja mendegar, tapi melihat segala hal. Dengan begitu, Anda tidak saja mengetahui apa yang sedang terjadi tetapi bawahan (rakyat) mengetahui bahwa Anda berkomitmen tinggi.

Dalam tataran Ideologis, adalah hal yang positif jika Indonesia beralih pada kepemimpinan Islam. Sebab Islam akan menjadikan penduduknya ber-akhlak Al karimah. Sebagaimana akhlak Rasul SAW yakni Al Qur’an.[6] Yang telah Beliau SAW dan para Khulafur Rasyidin berikan tauladan kepada kita bagaimana menjalankan kepemimpinan dan menjadi pemimpin yang baik dan sukses, tidak hanya sukes di dunia akan tetapi sukses di akhirat kelak.

Dengan tiada kezaliman, penuh dengan keadilan dan kesejahteraan rakyatnya. Sehingga tuduhan bahwa kepemimpinan Islam itu menghancurkan (destruktif) tidaklah benar. Tudingan destruktif ini persis seperti perkataan Fir’aun terhadap Musa as dalam Al Qur’an.

وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ ذَرُونِيٓ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡيَدۡعُ رَبَّهُۥٓۖ إِنِّيٓ أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمۡ أَوۡ أَن يُظۡهِرَ فِي ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ ٢٦

“Dan berkata Fir´aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi" (QS. Al Ghafir: 26)

Sungguh, kesalahan besar jika Kepemimpinan Islam membawa kerusakan. Justru selama 1300 tahun, kepemimpinan Islam secara faktual memberikan pembangunan (konstruktif) dan kedamaian bagi manusia yang menjadi warganya atau bukan.

Selain itu, kalimat Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghofur itu terdapat didalam Al Qur’an, maka sejatinya hanya Al Qur’an-lah yang mampu mewujudkannya. Dalam kepemimpinan Islam yang menerapkan Islam secara kaffah.

Wallahu’alam Bishowab.

Daftar Pustaka

Al Qur’an Al Karim

Cohen. William A. Ph. D, The New Art of The Leader, 2011.

Foto: source by google.




[1] Wahyu Wijaswanto, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hal : 769.
[2] William A. Cohen, Ph. D, The New Art of The Leader, 2011, hal. 15
[3] Hilal, S. (2005). “Ketaatan Pada Pemimpin“, Rubrik: Taujihat.
[4] Muhammad Muslih, pada laman: http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/01/26/negeri-baldatun-thoyibatun-warabun-ghofur/, diakses pada 15 Oktober 2017 11:06
[5] William A. Cohen, Ph. D, The New Art of The Leader, 2011, hal. 56-57
[6] Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir tentang akhlak Rasulullah SAW ia menjawab: “Akhlak beliau adalah Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah SWT ‘Sungguh engkau berbudi pekerti (khuluq) yang agung’?” (QS. Al Qalam: 4) Qatadah mengatakan, Ia (“Khuluq” dalam Ayat ini) adalah sesuatu yang beliau laksanakan dari perintah Allah dan sesuatu yang beliau jauhi dari larangan Allah, dan makna Ayat di atas: Sesungguhnya engkau benar-benar berakhlak  dengan akhlak yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur`an.

Previous Post
Next Post

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

0 komentar: