Senin, 20 Februari 2017

PEMIMPIN KAFIR: Dalam Tinjauan Al Quran dan Ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah

Hasil gambar untuk Pemimpin Kafir

Rendra Fahrurrozie
STIT SIROJUL FALAH BOGOR
email: rendra_fr@yahoo.com
(Tugas Matakuliah: Ulumul Qur'an | Dosen: Puad Hasan, M.A)

Abstrak

Di tahun 2017 ini akan berlangsung pilkada serentak di beberapa provinsi di Indonesia. Yang menarik perhatian adalah pencalonan gubernur di ibu kota Jakarta yang menjadi sorotan masyarakat dunia karna keikut-sertaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur yang diusung oleh parpol-parpol pendukungnya pada 15 Februari 2017 mendatang. Mengapa ini menarik untuk dibahas? Sebab, Ahok adalah seorang pemeluk Kristen Protestan[1] yang maju sebagai calon pemimpin yang akan memerintah/memimpin Jakarta dengan penduduk mayoritas muslimnya.

Terlepas dari pro-kontra tentang kasus penistaan Al Qur’an di Kep. Seribu pada September 2016 lalu yang menyeretnya ke kursi peradilan, sebenarnya pro-kontra tersebut hanya pada ranah realitas empirik yang muncul di media, khususnya media sosial. Tapi pada ranah normatif, yaitu kajian fiqih Islam sebenarnya tidak terjadi pro kontra dalam menyoal kepemimpinan kafir terhadap umat Islam.


Pendahuluan


“Kepemimpinan adalah jalan yang paling besar untuk menguasai dan mengatur kepentingan kaum Muslim.”

Demikianlah pernyataan Ibnu Hazm[2] tentang kepemimpinan dan umat Islam. Jadi, saat kepentingan umat Islam berada pada pemimpin kafir secara otomatis akan menjadi ranah kajian Fiqh Islam di semua kalangan masyarakat muslim.

Sebab, akankah masuk ke dalam kebolehan dan keharamannya tentang kepemimpinan semacam ini di negeri muslim dengan mayoritas umat Islam yang hidup di dalamnya?

Seluruh ulama ahlu sunnah wal jamaah dari berbagai disiplin ilmu tidak pernah berselisih atas keharaman menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir, baik kafir asli maupun murtad dari Islam.[3]


Tentunya ini menarik untuk dibahas atas keharaman atau kebolehannya pemimpin kafir tersebut, apalagi dilingkungan akademik Tarbiyah Islamiyah.

Al Qur’an: Keharaman Pemimpin Kafir Mutlak

Dalam Al Qur’an secara kontekstual, larangan Allah SWT menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin atas umat Islam telah dinyatakan dengan menggunakan kalimat larangan Lam Nahi  dan  Fi’il Mudhari’ (La Tattakhidzu) di dalam Al Qur’an sebagai berikut.

Hai orang-­orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang­-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin (kalian); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, sungguh orang itu termasuk golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS al-Maidah [5]: 51).

Imam al­Qurthubi menjelaskan bahwa struktur kalimat, “La Tattakhidzu (Janganlah kalian menjadikan)” adalah kata kerja dengan dua obyek [maf’ul bih], yaitu al­Yahuda wa an­Nashara (Yahudi dan Nasrani) dan Awliya’ [teman setia/pemimpin]. Karena itu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’ (teman setia/pemimpin) bagi orang Mukmin tegas dilarang.[4]
Sebab turunnya ayat ini, ada beberapa riwayat. 

Semuanya terkait dengan peristiwa perang. Ada yang terkait dengan Perang Badar, Perang Uhud dan Perang Bani Qainuqa’. Di sini, cukup dikemukakan satu riwayat:

‘Ubadah bin Shamit (kaum Anshar) datang menghadap Rasulullah saw. seraya berkata: Wahai Rasulullah, saya mempunyai banyak teman (sekutu/penolong) dari kalangan Yahudi. Jumlah mereka banyak. Saya berlepas diri kepada Allah dan RasulNya dari menjadikan Yahudi sebagai teman (sekutu/penolong). Saya hanya menjadikan Allah dan Rasul­Nya sebagai penolong.” Lalu ‘Abdullah bin Ubay berkata, “Sesungguhnya saya khawatir akan terjadinya kekalahan. Karena itu saya tidak bersedia berlepas dari upaya menjadikan (Yahudi) sebagai teman (sekutu/penolong).” Rasulullah saw. lalu bersabda kepada ‘Abdullah bin Ubay, “Abu al­Hubab, apa yang membuat kamu tidak bersedia melepaskan persekutuan dengan Yahudi, sebagaimana ‘Ubadah bin Shamit? Padahal dia mempunyai sekutu lebih banyak ketimbang dirimu?” ‘Ubadah berkata: Aku telah menerima, lalu Allah menurunkan firman­Nya (TQS al­Maidah: 51-52). [5]

Memang benar, konteks turunnya ayat ini terkait dengan peristiwa perang, tetapi obyek pembahasan (mawdhû’) yang dibahas di dalamnya adalah larangan menjadikan orang kafir sebagai teman setia, penolong dan sekutu. Konteksnya pun terkait dengan sikap ‘Ubadah bin Shamit (Mukmin) dan ‘Abdullah bin Ubay (munafik). Namun, tidak berarti ayat ini hanya berlaku untuk mereka, dan terkait dengan konteks perang saja.[6] Dalil ini bersifat umum (mutlak) baik perang maupun damai, dan tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengganti atau membatasinya.

Jadi, dengan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia saja dilarang, apalagi menjadikannya sebagai seorang pemimpin sama artinya memberikan jalan bagi mereka untuk menguasai, mengatur dan berkuasa atas umat Islam. Ini adalah perbuatan haram.

Kesepakatan Ulama Ahlus Sunnah

Seluruh ulama ahlu sunnah wal jamaah sepakat atas keharaman menyerahkan kepemimpinan atas umat Islam kepada orang kafir. Bahwa Islam merupakan syarat keabsahan pengangkatan seorang pemimpin, yakni laki-laki, baligh, merdeka, Islam, merdeka, mampu dan adil.
Qadhi Iyadh berkata, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) tidak absah diserahkan kepada orang kafir.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/35-36).

Ibnu Hazm menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan umat Islam (al-Imamah) tidak boleh bagi perempuan, orang kafir dan anak kecil.” (Ibmu Hazm, Maratib al-Ijma, hlm. 208).
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili juga menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imam (pemimpin) disyaratkan harus seorang Muslim untuk mengatur kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Tidak sah kepemimpinan kafir atas kaum Muslim.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, 5/197).[7]

Membantah Pernyataan “Boleh Pemimpin Kafir”[8]

Ada beberapa tokoh yang berargumen bahwa boleh pemimpin kafir dengan alasan, pada masa Khilafah ‘Abbasiyah konon Khalifah al-Mutadhid Billah (berkuasa 892-902 M) pernah mengakat seorang wali (kepala daerah) bernama Umar bin Yusuf yang beragama  Kristen di daerah Anbar Irak.
Pernyataan ini tertolak dengan dua alasan. Pertama, pengangkatan tersebut jelas penyimpangan syariah. Bertentangan dengan kesepakatan ulama tersebut diatas, maka kesalahan tersebut harus tidak boleh terulang, bukan malah menjadi standar ideal sebagai teladan untuk kondisi sekarang. Kedua, fakta sejarah bukanlah dalil syariah. Justru objek untuk dinilai menurut dalil syariah.

Lalu ada pernyataan bahwa Imam Mawardi membolehkan pemimpin kafir (al-Ahkam as-Sulthaniyah hlm. 27), bahwa wazir tanfidz dijabat oleh kafir dzimmi (warga negara kafir). Inipun tidak dapat diterima dengan tiga alasan. Pertama, wazir tanfidz adalah pembantu Khalifah dalam bidang administrasi (bukan penguasa, seperti gubernur/kepala daerah). Kedua, pendapat Imam Mawardi ini telah dibantah oleh ulama lain, seperti Imam al-Haramain al-Juwaini asy-Syafii (Ghiyats al-Umam, hlm. 144) dan juga imam Abu Ya’la al-Fara’ (al-Ahkam as-Sulthaniyah, hlm. 32). Ketiga, imam al-Mawardi telah membahas khusus tentang pengangkatan kepala daerah (bab III) bukan bab tentang wazir tanfidz (bab II) ini adalah tidak pada tempatnya dalam mengambil pendapat ulama.

Ada juga yang mengambil pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa pemimpin kafir boleh asalkan adil. Ini adalah tidak benar. Yang benar, Ibnu Taimiyah mengutip ungkapan orang lain bukan pendapatnya sendiri. Yang menekankan betapa pentingnya keadilan. “Sungguh manusia tidak akan berselisih bahwa akibat kezhaliman adalah kehinaan dan akibat keadilan adalah kemuliaan. Oleh karnanya diriwayatkan, Allah akan menolong negara adil meski itu negara kafir, dan tidak akan menolong negara zhalim meski itu negara mukmin.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 28/63). Dari ungkapan itu jelas bahwa beliau telah mengutip pendapat orang lain. Apalagi beliau dengan tegas menyatakan bahwa tujuan kekuasaan adalah untuk menerapkan syariat Islam dan mengatur kehidupan dunia dengan syariat Islam (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah, hlm. 13). 
Nah, bagaimana mungkin tujuan kekuasaan itu terwujud jika pemimpin umat adalah orang kafir?

“Sungguh apa saja yang halal di Dar al-Islam (Khilafah) tetap halal di negeri-negeri al-Kufr. Apa saja yang haram di negeri-negeri Islam tetap haram di negeri-negeri kufur.” (Imam Syafii, Al-Umm, Al-Mansurah: Darul Wafa’, 2001, 19/hlm. 237)

Jadi, hukum syariat Islam itu tetap berlaku dimanapun seorang Muslim berada.
Akhirnya, yang dibutuhkan umat Islam adalah tidak sekedar pemimpin Muslim yang adil dari segi personalitas dan integritas yang baik. Tetapi sistem politik dan hukum yang bersumber dari Al-Khalik yakni Al Qur’an dan As Sunnah. Agar keberkahan menyelimuti negeri subur dan kaya sumber daya alam ini.

Kesimpulan

Keharaman pemimpin kafir dengan tegas dalam QS. Al Maidah : 51, dengan mengutip tafsir Imam al-Qurthubi. Bahwa dilarang untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’ (teman setia/pemimpin) bagi orang Mukmin. Menjadikan mereka sebagai teman dekat saja dilarang, apalagi menjadi pemimpin yang mengurusi banyak kepentingan umat Islam.

Keharaman ini bersifat umum (mutlak) karna tidak ada dalil yang menggantikan atau membatasinya.
Seluruh ulama ahlu sunnah wal jamaah sepakat atas keharaman menyerahkan kepemimpinan atas umat Islam kepada orang kafir. Bahwa Islam merupakan syarat keabsahan pengangkatan seorang pemimpin, yakni laki-laki, baligh, merdeka, Islam, merdeka, mampu dan adil.

Argumentasi, pernyataan dan komentar tentang kebolehan pemimpin kafir telah terbantahkan dengan alasan yang kuat dan syar’i mengutip pendapat dari ulama-ulama hanif yang telah membahas keharaman pemimpin kafir dan berlakuknya hukum syariat dimana saja, baik dar al-Islam maupun dar al-Kufr.

Wallahu’alam bishowab.

Daftar Pustaka

Al Qur’an Al Karim

Tahrir Indonesia, Hizbut. (Desember 2016). Al Wa’ie. Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia

Wikipedia. (10 Januari 2017). Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM. id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama


Catatan Kaki

[1]               id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama
[2]               Fathiy Samsudin Ramadhan An Nawiy; Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 14
[3]                 Ibid.
[4]               KH. Hafidz Abdurrahman; Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 41
[5]               Al­‘Allamah Ibn Jarir ath­Thabari, Tafsîr ath­Thabari, QS al Maidah: 51.; Ibid. hal 42-43
[6]                 Ibid. 42-43
[7]               Fathiy Samsudin Ramadhan An Nawiy; Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 17-18
[8]                  KH. M. Siddiq Al Jawi; Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 9-13

Previous Post
First

Man 'Arofa Nafsihi 'Arofa Robbuhu | #IslamSelamatkanNegeri

2 komentar:

  1. Masya Allah.
    Haram pemimpin kafir.

    Allahu Akbar

    BalasHapus
  2. Terima kasih Mas fajrul, atas kunjungan di blog ini. Hehe..

    BalasHapus