Rendra Fahrurrozie
STIT SIROJUL FALAH BOGOR
email: rendra_fr@yahoo.com
(Tugas Matakuliah: Ulumul Qur'an | Dosen: Puad Hasan, M.A)
Abstrak
Di tahun 2017 ini akan berlangsung
pilkada serentak di beberapa provinsi di Indonesia. Yang menarik perhatian adalah
pencalonan gubernur di ibu kota Jakarta yang menjadi sorotan masyarakat dunia
karna keikut-sertaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur yang
diusung oleh parpol-parpol pendukungnya pada 15 Februari 2017 mendatang.
Mengapa ini menarik untuk dibahas? Sebab, Ahok adalah seorang pemeluk Kristen
Protestan[1] yang maju
sebagai calon pemimpin yang akan memerintah/memimpin Jakarta dengan penduduk mayoritas
muslimnya.
Terlepas dari pro-kontra
tentang kasus penistaan Al Qur’an di Kep. Seribu pada September 2016 lalu yang
menyeretnya ke kursi peradilan, sebenarnya pro-kontra tersebut hanya pada ranah
realitas empirik yang muncul di media, khususnya media sosial. Tapi pada ranah
normatif, yaitu kajian fiqih Islam sebenarnya tidak terjadi pro kontra dalam
menyoal kepemimpinan kafir terhadap umat Islam.
Pendahuluan
“Kepemimpinan adalah jalan
yang paling besar untuk menguasai dan mengatur kepentingan kaum Muslim.”
Demikianlah pernyataan Ibnu
Hazm[2]
tentang kepemimpinan dan umat Islam. Jadi, saat kepentingan umat Islam berada
pada pemimpin kafir secara otomatis akan menjadi ranah kajian Fiqh Islam di
semua kalangan masyarakat muslim.
Sebab, akankah masuk ke dalam
kebolehan dan keharamannya tentang kepemimpinan semacam ini di negeri muslim
dengan mayoritas umat Islam yang hidup di dalamnya?
Seluruh ulama ahlu sunnah wal
jamaah dari berbagai disiplin ilmu tidak pernah berselisih atas keharaman
menyerahkan kepemimpinan kepada orang kafir, baik kafir asli maupun murtad dari
Islam.[3]
Al Qur’an: Keharaman Pemimpin Kafir Mutlak
Dalam Al
Qur’an secara kontekstual, larangan Allah SWT menjadikan orang Yahudi dan
Nasrani sebagai pemimpin atas umat Islam telah dinyatakan dengan menggunakan
kalimat larangan Lam Nahi dan Fi’il Mudhari’ (La Tattakhidzu) di
dalam Al Qur’an sebagai berikut.
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin
(kalian); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Siapa saja
di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, sungguh orang itu termasuk
golongan mereka. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS
al-Maidah [5]: 51).
Imam alQurthubi menjelaskan
bahwa struktur kalimat, “La Tattakhidzu (Janganlah kalian menjadikan)”
adalah kata kerja dengan dua obyek [maf’ul bih], yaitu alYahuda wa
anNashara (Yahudi dan Nasrani) dan Awliya’ [teman setia/pemimpin].
Karena itu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’ (teman
setia/pemimpin) bagi orang Mukmin tegas dilarang.[4]
Sebab turunnya ayat ini, ada
beberapa riwayat.
Semuanya terkait dengan peristiwa perang. Ada yang terkait
dengan Perang Badar, Perang Uhud dan Perang Bani Qainuqa’. Di sini, cukup
dikemukakan satu riwayat:
‘Ubadah bin Shamit (kaum
Anshar) datang menghadap Rasulullah saw. seraya berkata: Wahai Rasulullah, saya
mempunyai banyak teman (sekutu/penolong) dari kalangan Yahudi. Jumlah mereka
banyak. Saya berlepas diri kepada Allah dan RasulNya dari menjadikan Yahudi
sebagai teman (sekutu/penolong). Saya hanya menjadikan Allah dan RasulNya
sebagai penolong.” Lalu ‘Abdullah bin Ubay berkata, “Sesungguhnya saya khawatir
akan terjadinya kekalahan. Karena itu saya tidak bersedia berlepas dari upaya
menjadikan (Yahudi) sebagai teman (sekutu/penolong).” Rasulullah saw. lalu
bersabda kepada ‘Abdullah bin Ubay, “Abu alHubab, apa yang membuat kamu tidak
bersedia melepaskan persekutuan dengan Yahudi, sebagaimana ‘Ubadah bin Shamit?
Padahal dia mempunyai sekutu lebih banyak ketimbang dirimu?” ‘Ubadah berkata:
Aku telah menerima, lalu Allah menurunkan firmanNya (TQS alMaidah: 51-52).
[5]
Memang benar, konteks turunnya
ayat ini terkait dengan peristiwa perang, tetapi obyek pembahasan (mawdhû’)
yang dibahas di dalamnya adalah larangan menjadikan orang kafir sebagai teman
setia, penolong dan sekutu. Konteksnya pun terkait dengan sikap ‘Ubadah bin
Shamit (Mukmin) dan ‘Abdullah bin Ubay (munafik). Namun, tidak berarti ayat ini
hanya berlaku untuk mereka, dan terkait dengan konteks perang saja.[6]
Dalil ini bersifat umum (mutlak) baik perang maupun damai, dan tetap berlaku
selama tidak ada dalil yang mengganti atau membatasinya.
Jadi, dengan menjadikan
Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia saja dilarang, apalagi menjadikannya
sebagai seorang pemimpin sama artinya memberikan jalan bagi mereka untuk
menguasai, mengatur dan berkuasa atas umat Islam. Ini adalah perbuatan haram.
Kesepakatan Ulama Ahlus Sunnah
Seluruh ulama ahlu sunnah wal
jamaah sepakat atas keharaman menyerahkan kepemimpinan atas umat Islam kepada
orang kafir. Bahwa Islam merupakan syarat keabsahan pengangkatan seorang pemimpin,
yakni laki-laki, baligh, merdeka, Islam, merdeka, mampu dan adil.
Qadhi Iyadh berkata, “Para
ulama sepakat bahwa Imamah (kepemimpinan) tidak absah diserahkan kepada orang
kafir.” (An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 8/35-36).
Ibnu Hazm menegaskan, “Para
ulama sepakat bahwa kepemimpinan umat Islam (al-Imamah) tidak boleh bagi
perempuan, orang kafir dan anak kecil.” (Ibmu Hazm, Maratib al-Ijma,
hlm. 208).
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili
juga menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imam (pemimpin) disyaratkan harus
seorang Muslim untuk mengatur kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Tidak sah
kepemimpinan kafir atas kaum Muslim.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah, 5/197).[7]
Membantah Pernyataan “Boleh Pemimpin Kafir”[8]
Ada beberapa tokoh yang
berargumen bahwa boleh pemimpin kafir dengan alasan, pada masa Khilafah
‘Abbasiyah konon Khalifah al-Mutadhid Billah (berkuasa 892-902 M) pernah
mengakat seorang wali (kepala daerah) bernama Umar bin Yusuf yang beragama Kristen di daerah Anbar Irak.
Pernyataan ini tertolak
dengan dua alasan. Pertama, pengangkatan tersebut jelas penyimpangan
syariah. Bertentangan dengan kesepakatan ulama tersebut diatas, maka kesalahan
tersebut harus tidak boleh terulang, bukan malah menjadi standar ideal sebagai
teladan untuk kondisi sekarang. Kedua, fakta sejarah bukanlah dalil
syariah. Justru objek untuk dinilai menurut dalil syariah.
Lalu ada pernyataan bahwa
Imam Mawardi membolehkan pemimpin kafir (al-Ahkam as-Sulthaniyah hlm.
27), bahwa wazir tanfidz dijabat oleh kafir dzimmi (warga negara
kafir). Inipun tidak dapat diterima dengan tiga alasan. Pertama, wazir
tanfidz adalah pembantu Khalifah dalam bidang administrasi (bukan penguasa,
seperti gubernur/kepala daerah). Kedua, pendapat Imam Mawardi ini telah
dibantah oleh ulama lain, seperti Imam al-Haramain al-Juwaini asy-Syafii (Ghiyats
al-Umam, hlm. 144) dan juga imam Abu Ya’la al-Fara’ (al-Ahkam
as-Sulthaniyah, hlm. 32). Ketiga, imam al-Mawardi telah membahas
khusus tentang pengangkatan kepala daerah (bab III) bukan bab tentang wazir
tanfidz (bab II) ini adalah tidak pada tempatnya dalam mengambil pendapat
ulama.
Ada juga yang mengambil
pernyataan Ibnu Taimiyah bahwa pemimpin kafir boleh asalkan adil. Ini adalah
tidak benar. Yang benar, Ibnu Taimiyah mengutip ungkapan orang lain bukan
pendapatnya sendiri. Yang menekankan betapa pentingnya keadilan. “Sungguh
manusia tidak akan berselisih bahwa akibat kezhaliman adalah kehinaan dan
akibat keadilan adalah kemuliaan. Oleh karnanya diriwayatkan, Allah akan
menolong negara adil meski itu negara kafir, dan tidak akan menolong negara
zhalim meski itu negara mukmin.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa,
28/63). Dari ungkapan itu jelas bahwa beliau telah mengutip pendapat orang
lain. Apalagi beliau dengan tegas menyatakan bahwa tujuan kekuasaan adalah
untuk menerapkan syariat Islam dan mengatur kehidupan dunia dengan syariat
Islam (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar’iyah, hlm. 13).
Nah, bagaimana
mungkin tujuan kekuasaan itu terwujud jika pemimpin umat adalah orang kafir?
“Sungguh apa saja yang halal
di Dar al-Islam (Khilafah) tetap halal di negeri-negeri al-Kufr. Apa saja yang
haram di negeri-negeri Islam tetap haram di negeri-negeri kufur.” (Imam
Syafii, Al-Umm, Al-Mansurah: Darul Wafa’, 2001, 19/hlm. 237)
Jadi, hukum syariat Islam itu
tetap berlaku dimanapun seorang Muslim berada.
Akhirnya, yang dibutuhkan umat Islam adalah tidak sekedar pemimpin
Muslim yang adil dari segi personalitas dan integritas yang baik. Tetapi sistem
politik dan hukum yang bersumber dari Al-Khalik yakni Al Qur’an dan As Sunnah.
Agar keberkahan menyelimuti negeri subur dan kaya sumber daya alam ini.
Kesimpulan
Keharaman pemimpin kafir
dengan tegas dalam QS. Al Maidah : 51, dengan mengutip tafsir Imam al-Qurthubi.
Bahwa dilarang untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai Awliya’
(teman setia/pemimpin) bagi orang Mukmin. Menjadikan mereka sebagai teman dekat
saja dilarang, apalagi menjadi pemimpin yang mengurusi banyak kepentingan umat
Islam.
Keharaman ini bersifat umum
(mutlak) karna tidak ada dalil yang menggantikan atau membatasinya.
Seluruh ulama ahlu sunnah wal
jamaah sepakat atas keharaman menyerahkan kepemimpinan atas umat Islam kepada
orang kafir. Bahwa Islam merupakan syarat keabsahan pengangkatan seorang
pemimpin, yakni laki-laki, baligh, merdeka, Islam, merdeka, mampu dan adil.
Argumentasi, pernyataan dan
komentar tentang kebolehan pemimpin kafir telah terbantahkan dengan alasan yang
kuat dan syar’i mengutip pendapat dari ulama-ulama hanif yang telah membahas
keharaman pemimpin kafir dan berlakuknya hukum syariat dimana saja, baik dar
al-Islam maupun dar al-Kufr.
Wallahu’alam bishowab.
Daftar Pustaka
Al Qur’an Al Karim
Tahrir Indonesia, Hizbut. (Desember 2016).
Al Wa’ie. Jakarta Selatan: Hizbut Tahrir Indonesia
Wikipedia. (10 Januari 2017). Ir. Basuki
Tjahaja Purnama, MM. id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama
Catatan Kaki
[1] id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Tjahaja_Purnama
[2] Fathiy Samsudin Ramadhan An Nawiy;
Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 14
[3] Ibid.
[4] KH. Hafidz Abdurrahman; Al Wa’ie;
No. 196; Desember 2016; Hal. 41
[5]
Al‘Allamah Ibn Jarir
athThabari, Tafsîr athThabari, QS al Maidah: 51.; Ibid. hal 42-43
[6] Ibid.
42-43
[7]
Fathiy Samsudin Ramadhan An
Nawiy; Al Wa’ie; No. 196; Desember 2016; Hal. 17-18
[8] KH.
M. Siddiq Al Jawi; Al
Wa’ie; No.
196; Desember 2016; Hal. 9-13
Masya Allah.
BalasHapusHaram pemimpin kafir.
Allahu Akbar
Terima kasih Mas fajrul, atas kunjungan di blog ini. Hehe..
BalasHapus